Senin (26/5/2025), saya diamanahi Pak Kambali untuk membersamai murid kelas 3 belajar Al-Qur’an Hadis. Kala itu, Pak Kukuh—guru pengampu sedang berhalangan hadir. Mata pelajaran ini terjadwal setelah istirahat kedua: pukul 10.45—11.45. Ah, jam-jam krusial! Saya tahu betul, di waktu ini, konsentrasi anak-anak seringkali luntur. Melihat fakta itu, sejak istirahat pertama, otak saya berputar menyusun strategi: kira-kira saya mau ajak anak-anak berkegiatan apa.

Aha! Mengapa tidak merefleksikan surah Al-Fatihah beserta artinya saja? Setelah itu, me-refresh pikiran mereka dengan tayangan video dari YouTube.

“Alhamdulillah, sudah siap. Tinggal eksekusi,” bisik hati saya riang.

***

Jarum jam menunjukkan pukul 10.45. Bel berbunyi. Pertanda istirahat kedua telah usai. Beberapa anak sudah siap duduk rapi di karpet. Beberapa lainnya baru masuk kelas. Mereka langsung menempatkan diri duduk di karpet.

Di karpet, ada beberapa anak yang sudah tenang: siap menerima pelajaran. Ada juga yang masih asyik mengobrol: membicarakan keseruan saat bermain ataupun rencana bermain sepulang sekolah.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, …,” ucap saya, berhitung pelan-pelan.

Beberapa pasang mata mulai menyadari. Saat Bu Guru berhitung, berarti suasana kelas sedang dalam kondisi berisik: tidak kondusif.

“Ssst. Diem, woi,” tegur seorang anak kepada teman-temannya.

Saya masih melanjutkan hitungan, “Delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, ….”

“Alhamdulillah. Terima kasih, Teman-Teman. Terima kasih juga, Mas Fillio, sudah mengingatkan teman-teman. Lain kali, ngingetin-nya pelan-pelan saja, ya,” ucap saya sambil tersenyum.

Saya menyampaikan mengapa saya berada di depan. Saya juga mengajak anak-anak untuk mendoakan Pak Kukuh, yang sedang diberi nikmat untuk istirahat di rumah. Setelah itu, saya mengajak bermain tebak kata dengan membuat beberapa setrip pendek di papan tulis. Kemudian saya memberikan clue agar anak-anak menebaknya.

“Teman-Teman, ada  yang tahu, gak? Dalam sehari kita bisa membaca Al-Fatihah minimal berapa kali?” pancing saya.

Beberapa tangan langsung teracung ke udara.

“Delapan, Bu,” seru Fillio.

“Ada lagi?” tanya saya.

“Lima belas, Bu,” ucap Daffa.

Antusiasme anak-anak makin kentara.

“Sepuluh, Bu,” ujar Ridho, setelah dipersilakan.

“Ada lagi?” tanya saya kembali.

“Empat belas, Bu,” jawab Qaleed.

“Tujuh belas, Bu?” jawab Hafidz ragu, tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Kenapa Hafidz jawab 17?” tanya saya balik.

Kan, salatnya ada 17 rakaat, Bu,” jawabnya.

“Coba dihitung kembali jumlah rakaat salat wajib,” pinta saya.

Seketika, anak-anak serempak menghitung bersama jumlah rakaat salat.

“Iya, weh. Betul, Hafidz,” celetuk Langit.

 Segera saya menggambar bintang di papan tulis, menorehkannya pada kelompok Hafidz sebagai apresiasi karena sudah menjawab dengan tepat.

“Ada yang tahu, gak? Arti bacaan basmalah?”

Ridho kembali mengangkat tangan. “Dengan menyebut nama Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” jawabnya lantang.

Spontan, saya langsung memberinya apresiasi serupa, sebuah bintang untuk kelompoknya.

“Ada yang tahu, apa bedanya Maha Pengasih dan Maha Penyayang?” tanya saya kembali.

Hening. Anak-anak tampak berpikir keras. Mencoba menjawab sesuai dengan apa yang mereka tahu.

Nyerah, Bu,” celetuk Qaleed, memecah keheningan.

“Kalian tahu, semua yang ada di dunia ini, siapa yang menciptakan?”

“Allah,” jawab anak-anak serempak.

“Nah, sekarang Bu Guru tanya, Allah sayang gak sama orang yang bukan beragama Islam?”

“Sayang.”

“Nah. Jadi, kalau Maha Pengasih itu, Allah sayang kepada seluruh ciptaan-Nya: hewan, tumbuhan, manusia, dan lainnya saat di dunia. Tapi, kalau Maha Penyayang, sayangnya Allah kepada hamba-Nya yang beragama Islam saat di akhirat,” terang saya.

Beberapa anak mengangguk mengerti. Beberapa lainnya masih belum menangkap. Seperti, Ridho. Ia masih tampak  bingung.

“Maksudnya gimana, Bu?”

“Hmmm. Mama Ridho sayang gak sama teman-teman Ridho?”

“Sayang.”

“Kalau Ridho sama Langit, mana yang lebih disayang Mama?”

“Saya-lah,” jawabnya.

“Nah, itu. Jadi, Allah juga sayang semua makhluk-Nya. Tapi, saat di akhirat Allah hanya sayang sama hamba-Nya yang beragama Islam.”

Ridho mengangguk mengerti.

“Sudah paham, Teman-Teman?” tanya saya memastikan.

“Sudah, Bu.”

“Alhamdulillah.”

“Bu, kalau Allah sayang, kenapa orang Islam ada yang masuk neraka?” celetuk Langit.

“Biar dosanya hilang semua, Ngit!” sahut Qaleed spontan.

“Wah, pertanyaan bagus, nih. Tapi sayang gak angkat tangan,” tegur saya.

 Langit mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan mengangkat tangan terlebih dahulu. Kemudian setelah dipersilakan baru bertanya.

“Sekarang Bu Guru tanya lagi. Kenapa ‘X’ duduk di kursi?”

Kebetulan ada seorang anak duduk di kursi. Ia sedang time out.

Time out.”

“Kenapa ‘X’ time out?”

“Karena dia tidak tertib.”

“Kenapa yang tidak tertib diberi time out?”

“Agar bisa jaga diri,” jawab Ridho.

“Oke. Kalau ‘X’, Bu Guru biarin saja, gimana?”

“Nanti ‘X’ kayak gitu terus, Bu. Gak berubah-berubah,” ujar Ridho.

“Nah, tepat sekali, Mas Ridho. Apalagi, Allah. Allah itu sayang sekali sama hamba-hamba-Nya. Jadi, jika ada orang Islam masuk neraka, itu bukan berarti Allah gak sayang, ya,” jelas saya.

Diskusi makin gayeng. Pertanyaan-pertanyaan tak terduga mulai mengalir dari benak polos anak-anak kelas 3: Bu, katanya Yesus itu Nabi Isa, ya?, Kenapa Allah ciptain Dajjal, Bu? dan masih banyak lagi. Saya tidak hanya menjawab sendiri. Anak-anak yang tahu pun saya persilakan untuk berbagi jawaban. Saya hanya tinggal melengkapi. Membuat suasana makin terasa gayeng dan hidup.

Lo? Jamnya kok sudah di angka 6 saja!” seru saya tercengang. Waktu terasa berlalu begitu cepat. “Bu Guru izin minum dulu, ya,” pinta saya

“Iya, Bu,” jawab anak-anak.

“Bu, izin selonjoran, ya,” pinta Hafidz.

“Teman-Teman, boleh selonjoran, ya,” sahut saya.

Tak terasa empat puluh limat menit berlalu. Anak-anak masih dalam keadaan duduk bersila, tanpa mengeluh. Bisa dibayangkan, betapa lelahnya mereka. Namun, semangat belajar mengalahkan rasa pegal itu.

“Kita nonton saja, ya. Bu Guru sudah siapkan filmnya,” ajak saya.

“Jangan, Bu. Ayo lanjutin lagi,” seru anak-anak.

Masih tersisa lima belas menit menuju bel salat Zuhur berbunyi. Saya memberikan kesempatan tiga anak untuk bertanya.

Dua anak bertanya. Namun, karena tidak langsung saya catat, saya terlupa apa pertanyaan mereka.

Dan yang paling membuat saya tercengang, di penghujung diskusi Hafidz bertanya, “Bu, apakah ada cara agar kita tidak jadi pengikut Dajjal?”

“Wah, pertanyaan bagus, Fidz,” puji saya.

“Saya tahu, Bu. Membaca doa setelah tahiat, ya?” sahut Itaf. ”Tapi, saya agak lupa, Bu,” sambungnya.

“Betul sekali, Itaf. Itu salah satunya.”

“Teman-Teman, Bu Guru izin cerita, ya. Jadi, Bu Guru pernah ditanya Pak Kambali tentang praktik doa setelah tahiat untuk kelas 3. Dan insyaallah nanti mau diajarkan di kelas 4. Tapi karena anak-anak pengin tahu, Bu Guru beri tahu sekarang. Nanti kita hafalkan bersama-sama, ya,” jelas saya.

Saya menulis doa setelah tahiat di papan tulis. Terdiri dari empat baris. Saya membacakannya terlebih dahulu, satu baris berulang-ulang hingga tiga kali. Kemudian kami membaca bersama-sama sebanyak tiga kali. Setelah itu, saya tunjuk per kelompok dan individu. Dan, boom! Tak butuh waktu lama. Mereka langsung hafal. Alhamdulillah.

Dari sini saya belajar: apa pun yang direncanakan terkadang tidak selalu sesuai harapan. Namun, itulah yang terbaik buat kami. Siapa sangka, siang itu berubah menjadi sesi diskusi yang begitu gayeng dan seru. Jauh melampaui ekspektasi. Pertanyaan-pertanyaan mereka menjadi pengingat bagi saya untuk selalu belajar mengasah  diri, membuka wawasan, dan pastinya tidak boleh kaku. Terima kasih, Anak-Anak Hebat, Salih-Salihah!

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code