Nuwun sewu, untuk SPP Juni ini, apakah boleh saya bayar di tanggal 28?”

Itu chat salah satu wali murid ke Bu Wiwik. Chat itu dikirim jauh hari sebelum tanggal 28 Juni 2024. Saya sangat takjub saat membacanya. Beliau—wali murid tersebut—terlebih dahulu memohon izin penundaan terkait penyelesaian biaya sekolah.

Setelah tanggal 28 Juni 2024, saya menghubungi Bu Ambar—bendahara SD Islam Hidayatullah 02. Saya tanyakan, apakah beliau sudah menyelesaikan biaya sekolah Juni 2024? Alhamdulillah, ternyata beliau sudah memenuhinya. Saya salut dengan komitmen beliau. Tak hanya kesantunan perilakunya dengan memohon izin terlebih dahulu (karena penundaan), tetapi beliau sekaligus membuktikan komitmennya. Beliau menepati janjinya, 28 Juni 2024 biaya sekolah terselesaikan.

Betapa bahagianya bergaul dengan orang semacam beliau. Ucapannya bisa dipegang. Tak perlu ada kekhawatiran, apalagi buruk sangka kepada orang yang menepati janjinya. Berbeda dengan orang yang ingkar janji. Ucapannya tak bisa dipegang. Bergaul dengan orang semacam ini rasanya akan sering khawatir dan was-was.

Semoga saya dapat meniru kesantunan dan perilaku baik beliau. Saya sadar, itu tidak mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Saya masih yakin, dengan kesungguhan dan kepasrahan, Allah akan memperlancar dan mempermudahnya.

Sebagaimana beliau, saya juga mempunyai anak yang sedang sekolah. Tepatnya belajar di pondok pesantren. Mukim di pondok. Apakah saya sudah menjalankan kewajiban saya di pondok tersebut? Apakah saya sudah tertib melaksanakannya? Ataukah masih sering menunda? Atau bahkan masih sering meninggalkan kewajiban itu?

Ya, saya mengakuinya. Beberapa kali saya menunda pembayaran biaya bulanan pondok. Hingga akhir bulan. Bahkan, pernah juga hingga bulan berikutnya. Dan saya melakukannya tanpa memohon izin terlebih dahulu. Berbeda sekali dengan beliau. Masyaallah, saya benar-benar salut dengan akhlak beliau. Sekaligus saya merasa mendapat pelajaran yang sangat berharga dari beliau.

Bagi saya, yang dilakukan beliau adalah praktik nyata. Sebelumnya, secara teori sebenarnya saya sudah sering menerimanya. Saya mendengarkan dan mempelajarinya. Dulu, saat saya masih di pesantren. Ada tiga pihak yang sangat berpengaruh pada keberhasilan murid saat belajar. Orang tua/wali, guru, dan murid itu sendiri. Perannya berbeda, bidang garapnya tidak sama, tetapi tujuannya sama: murid mendapatkan ilmu bermanfaat. Peran dan bidang garap ini saya sebut sebagai kewajiban tiap-tiap pihak. Jika salah satu mengabaikannya, murid akan mengalami hambatan dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Saya sangat berharap, dua anak saya yang belajar di pesantren berhasil mendapat ilmu yang bermanfaat. Mengingat pengalaman beliau, saya jadi takut. Jangan-jangan gara-gara saya tidak tertib menunaikan kewajiban saya sebagai wali murid, dua anak saya mengalami hambatan. Astagfirullah.

Ini belum terlambat. Memang, yang sudah terjadi tak mungkin diubah lagi. Tetapi saya masih punya kesempatan memperbaiki di bulan-bulan berikutnya. Saya harus berusaha keras, agar dapat membayar biaya pondok sebelum tanggal 10. Kalau toh, kondisi sedang tidak memungkinkan, sudah sepatutnya saya meniru beliau, memohon izin penundaan. Sekaligus bersungguh-sungguh memenuhi komitmennya. Dengan begitu, berarti saya sudah memenuhi kewajiban saya sebagai wali murid. Sehingga saya merasa pantas berharap, kedua anak saya berhasil mendapat ilmu yang bermanfaat.

Ups, tapi bukankah itu baru satu pihak: wali murid? Bagaimana dengan dua pihak lainnya? Bukankah harus ketiga-tiganya? Ya, memang harus ketiga-tiganya. Dan saya ingat salah satu pesan Aa Gym: mulai dari diri sendiri.

Ya Allah, mudahkanlah saya dalam mengamalkan pelajaran yang saya peroleh dari pengalaman wali murid ini. (A1)

Baca juga: Kewajiban Dulu

Bagikan:
Scan the code