“Bu, Fatih gak mau disuntik,” lapor Fatih pagi-pagi.

Rengekan itu tak hanya sekali ia lontarkan. Fatih sudah mendaftarkan diri jauh-jauh hari supaya tidak diimunisasi. Padahal jadwalnya masih pekan depan. Tak hanya Fatih, sih. Beberapa anak lainnya juga bertingkah serupa.

Ketika anak-anak duduk di karpet, Bu Wiwik berkata, “Nanti yang berani di vaksin dan tidak nangis, Bu Wiwik dan Bu Eva kasih bintang!”

Tampaknya semua anak menjadi bersemangat menyiapkan mental supaya tidak menangis. Mereka jadi tertantang.

H-1 pelaksanaan imunisasi, terdata tiga anak yang tidak diimunisasi di Sekolah: Nadhif, Amira, dan Fatih. Masing-masing mempunyai alasan.

***

Tiba saatnya imunisasi pertama untuk kelas 1, kelas angkatan mereka. Alhamdulillah, kali ini petugas puskesmas datang ke sekolah kami. Biasanya bergabung di SD IH 01.

Anak-anak yang divaksin, membuktikan keberaniannya. Hanya dua anak yang hampir menangis, tapi berhasil menahannya.

Akhirnya … semua anak yang divaksin mendapat bintang. Mereka riang karena ramai-ramai menempel stiker bintang bertuliskan nama mereka masing-masing.

Namun, berbeda dengan Nadhif dan Fatih. Mereka sedih karena tidak mendapat bintang. Kami menguatkan kalau masih banyak kesempatan untuk mendapat bintang. Misalnya dengan melakukan kebaikan. Syukurlah, Nadhif bisa menerima dan tidak lagi bersedih.

Sayangnya, sampai jam kepulangan, Fatih masih belum terima.

Ia berbaring di karpet, enggan beranjak.

“Fatih sedih karena nggak dapat bintang?” tanya saya.

Ia mengangguk. “Fatih mau bintang!” ungkapnya sembari berbaring di karpet.

“Besok, deh, Bu Guru kasih bintang kalau Fatih sudah vaksin, ya. Tapi Fatih harus sembuh dulu. Karena Fatih kan masih minum obat, jadi belum boleh,” bujuk saya dan Bu Wiwik.

Mantra tersebut belum berhasil. Padahal abinya sudah menjemput. Tapi ia masih belum beranjak juga dari karpet dan masih merengek ingin dapat bintang.

Setelah berulang kali diberi pemahaman, Fatih mau saya ajak keluar kelas menuju rak sepatu. Sesekali ia masih menagih bintang tersebut. Entah apa yang ada di pikiran saya, tiba-tiba saya menceletuk, “Sandalnya Fatih itu warna hijaukah?”

“Iya, warna hijau itu, Bu Guru,” sahutnya.

“Ooh … Kok warna hijaunya unik, ya, Bu Eva jarang lihat warna hijau itu.”

“Itu namanya hijau terang,” jawabnya.

“O, iya, kayaknya kalau enggak salah warna matcha, deh,” sambung saya.

“Apa itu?” tanya Fatih

“Itu, lo, yang minuman rasa matcha warna hijaunya seperti sandal Fatih,” jelas saya.

“Oo, aku gak tahu,” pungkasnya.

Alhamdulillah, obrolan basa-basi itu cukup ampuh mengalihkan perhatian Fatih.

Keesokan harinya, bahkan sampai hari ini pun, ia tak mengungkit masalah bintang lagi. Maaf, ya, Mas Fatih, Mbak Amira, dan Mas Nadhif. Bukan kami tega. Namun hanya demi sebuah kekonsistenan.

Bagikan:
One thought on “Bukan Tega”
  1. masyaallah, semoga dalam berproses ini mas fatih diberikan kesabaran dan legawa

Comments are closed.

Scan the code