“Nanti gambarnya berbentuk mobil atau gimana, Fil?” tanya saya, memastikan maksud Fillio.

“Tulisannya saja, Bu. H**da, T***ta, gitu,” terangnya.

Tahun ajaran baru memasuki hari ketiga. Saya mengajak murid-murid merundingkan penamaan kelompok kerja di kelas. Anak-anak begitu bersemangat. Ridho mengusulkan pemakaian nama-nama nabi. Langit mengusulkan nama-nama negara. Nah, Fillio menginginkan pemakaian merek-merek mobil.

Sejenak saya bimbang. Nama-nama nabi, seperti usulan Ridho, bagus. Keteladanan sosok-sosok pilihan itu bisa menginspirasi anak-anak. Nama-nama negara juga baik. Anak-anak bisa terdorong untuk memperluas wawasan. Cuma, mereka bosan atau tidak, ya? Nama-nama negara sudah mereka pakai di kelas 2. Merek mobil? Emm, … jangan-jangan menimbulkan kesan promosi?

Aha, kenapa harus pusing! Biar kelas saja yang memutuskan. Voting. Apa salahnya anak-anak belajar berdemokrasi sejak dini? Sekaligus mereka bisa belajar menghargai pilihan mayoritas walaupun berbeda dari selera pribadi. Saya tawarkan kepada anak-anak, voting disetujui. Aturan main disepakati.

Pemungutan suara digelar. Setiap anak berhak menentukan pilihannya di antara tiga usulan. Hasilnya, nama nabi memperoleh 9 suara, nama negara 15 suara, dan merek mobil 2 suara.

“Bu Shoffa, dulu di kelas 2, kan, sudah pernah pakai nama negara!” gugat Fillio.

Duh, kenapa Fillio tidak protes dari tadi, sebelum pemungutan suara? Semoga ini bukan ekspresi kekecewaan akibat kalah dalam perolehan dukungan.

“Enggak pa-pa, Fil. Nanti nama negaranya berbeda dengan yang pernah dipakai di kelas 2, ya,” kilah saya.

Halaaah!” sahut Fillio dengan raut muka kecewa.

Seketika air matanya meleleh. Qaleed dan Ken sigap. Mereka langsung menenangkan Fillio.

“Enggak pa-pa, ya, Teman-Teman? Kan, tadi kita sudah diskusi bersama. Jadi, nanti pakai nama negara yang belum pernah dipakai. Ada yang masih ingat, gak? Yang sudah pernah dipakai negara mana saja, ya?” tawar saya kepada anak-anak.

“Palestina, Arab Saudi, Jepang, Thailand, Korea Selatan, sama Rusia, Bu,” jawab beberapa anak.

Saat istirahat, saya menghampiri Fillio. Saya ingin tahu apakah ia sudah bisa move on. Ketika ditanya, ia mengaku sudah bisa berdamai dengan perasaannya sendiri. Ia sudah legawa menerima pilihan mayoritas teman-temannya. Ya, tampaknya Fillio mulai belajar bahwa tidak selalu keinginannya bisa terwujud.

Dan, yang pasti, saya mendapat pelajaran berharga dari Fillio—sang demokrat belia.

Bagikan:
2 thoughts on “Kecewa Dahulu, Legawa Kemudian”
  1. Fillio hebat! tetap semangat untuk terus berproses Fill!

Comments are closed.

Scan the code