“Bu, boleh main?” tanya salah seorang anak putri kepada gurunya.

“Boleh,” jawab Guru sembari menganggukkan kepala.

Anak-anak memang banyak bertanya. Sekalipun sudah mendengar bel, mereka tetap bertanya boleh main atau tidak. Boleh makan atau tidak. Boleh ke toilet atau tidak. Padahal memang jam istrahat disediakan untuk makan, main, dan sebagainya. Ternyata kesabaran guru dibutuhkan untuk hal sesederhana itu. Belum lagi yang bertanya bukan hanya satu atau dua anak. Masyaallah.

Baru sebentar Bu Eva dan Bu Wiwik menyantap bekalnya. Tetiba ada anak yang berteriak dari selasar depan kelas.

“Bu, Rama nangis.”

Bu Eva mengamati dulu dari luar. Memperkirakan sebesar apa masalahnya. E, kok tangisannya terisak-isak.

“Ada apa, Rama?” Bu Eva berdiri dari tempat duduknya.

Rama tidak menjawab. Seolah kesedihannya cukup dalam hingga tersedu-sedu.

“Sandalnya Rama disembunyikan, Bu,” lapor anak-anak yang menjadi saksi.

“Jadi, Rama nggak bisa ikut main, terus dia nangis,” sahut anak lainnya.

“Oo, memang siapa yang menyembunyikan?” tanya Bu Eva.

“Fathir, Rafa, dan Vano,” lagi-lagi Bu Eva lupa siapa-siapa anak yang menjawab, karena mereka mengerumuni Rama.

Teman-temannya lantas memanggilkan ketiga anak itu. Saya sidang keempat-empatnya, termasuk Rama, di tempat kejadian. Bu Wiwik mengamati dari dalam kelas. Seolah memercayai Bu Eva untuk menindaklanjuti.

Fathir, Rafa, dan Vano mengakui kesalahannya dengan dalih hanya bercanda.

“Bercanda itu seharusnya membuat bahagia, bukan sedih. Lain kali bercandanya yang wajar, ya, Mas Rafa, Mas Fathir, dan Mas Vano. Kalau seperti ini, kasihan waktu istirahatnya Mas Rama jadi terpotong. Mas Rama juga mau main.”

“Iya, Bu,” jawab ketiga anak itu hampir serentak.

Salah seorang anak mengembalikan sandal Rama. Lalu Vano mencoba untuk pergi main lagi. Ia juga mengajak Rafa. Namun Fathir masih berdiri, belum ada niat untuk pergi.

“Sebentar, Vano. Sekarang, Bu Eva memberi tugas Rafa, Vano, dan Fathir untuk menenangkan dan menghibur Rama. Boleh main lagi kalau Rama sudah tenang,”

Gimana caranya, Bu Eva?” ketiganya terlihat bingung sembari tertawa kecil.

“Coba pikirkan gimana caranya. Bu Eva mau ambil minum dulu, ya.” Bu Eva beranjak ke ruang TU.

Sempat terlintas di pikiran guru itu “Apakah saya terlalu kejam memberi tugas anak-anak seperti itu? Ah, biarkan saja mereka belajar tanggung jawab. Toh, tujuannya supaya mereka belajar.”

Setelah botolnya terisi penuh, Bu Eva menghampiri anak-anak itu lagi. Rama terlihat sudah lebih tenang. Meskipun wajahnya masih datar. Alhamdulillah, tangisnya sudah terhenti. Bu Wiwik sempat memantau juga di ambang pintu kelas.

“Bu Eva, Rama sudah nggak nangis,” lapor Rafa.

“Alhamdulillah. Tapi belum senyum itu.”

“Boleh diajak main, Bu?” tanya Fathir dan Vano kompak.

“Boleh, dong.”

Senyum tipis tampak di wajah Rama. Mereka pun lanjut bermain, termasuk Rama.

Main adalah solusi terakhir yang ditawarkan setelah Rama tenang. Sayangnya, Bu Eva tak sempat menanyakan bagaimana cara mereka menenangkan Rama. Tetapi, Bu Eva yakin mereka telah berusaha.

Ternyata cara itu tidak kejam-kejam amat. Buktinya, anak-anak mampu menyelesaikannya. Anak-anak jadi belajar bertanggung jawab, meresapi kesalahannya, sekaligus belajar menemukan solusi. Tak melulu semua masalah harus guru yang menyelesaikan. Sudah sepatutnya anak-anak dilibatkan. Apalagi jika yang membuat persoalannya mereka sendiri.

Bagikan:
229 thoughts on “Menuntaskan Tanggung Jawab”

Comments are closed.

Scan the code