“Penyerahan SK pensiun dari Ustaz Edrus selaku SE Yayasan kepada Ustaz Haris.”
Itu takarir foto yang dikirim Pak Adi pukul 09.49. Saya membacanya saat berada di ruang pertemuan LPI Hidayatullah lantai 2. Hari itu terjadwal rapat pimpinan. Pak Adi belum rawuh. Beliau ikut menghadiri acara penyerahan SK pensiun. Adapun Pak Eko tidak rawuh karena sedang sakit. Dirawat di rumah sakit.
Meskipun sebelumnya saya sudah tahu bahwa Ustaz Haris pensiun pada akhir September 2023, kenyataannya saya masih merasa terkejut. Rasanya saya akan kehilangan teladan. Teladan beramal ilmiah dan berilmu amaliah.
Awal saya bergabung dengan LPI Hidayatullah, tahun 2005, saya mendapat tip dari beliau. Bagaimana sikap kita terhadap saudara sesama muslim yang berbeda manhaj? Itu pertanyaan sederhana, tetapi sangat dibutuhkan dalam keseharian. Bukankah di sekitar kita di mana pun kita berada, kondisi perbedaan adalah sebuah keniscayaan? Tip beliau: cari dan temukan kesamaannya. Bagaimana bila tidak ada kesamaan sama sekali? Tidak mungkin. Pasti ada. Paling tidak: sama-sama muslim. Tuhannya sama. Kitabnya sama. Rasulnya sama. Saat muncul masalah dan risiko perselisihan, ingatlah kesamaan tersebut!
Saya berusaha mempraktikkan tip tersebut. Terasa sulit. Terutama di awal-awal mencari titik kesamaan. Namun, seiring waktu, ternyata saya berkali-kali berhasil melakukan dan merasakan manfaat besarnya.
Ustaz Haris juga sering menunjukkan contoh bagaimana menyikapi masalah. Baik masalah sehari-hari maupun masalah di lingkungan kerja. Beliau selalu berusaha merujuk tuntunan agama. Suatu ketika saya terlibat pembahasan standar mutu lulusan. Di luar dugaan dan kemampuan saya, beliau mengawali pembahasan dengan menukil hadis. Beliau menghendaki hadis itu menjadi pedoman dalam penyusunan standar mutu. Inilah hadisnya: orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.
Karena kebiasaan beliau merujuk tuntunan agama itulah, saya berpandangan bahwa Ustaz Haris termasuk orang yang religius.
Selesai rapat pimpinan (setelah Zuhur), saya sengaja menemui Ustaz Haris. Alhamdulillah, beliau di tempat.
“Siyose, pripun, Ustaz?” tanya saya.
“Ya, insyaallah Sabtu, 30 September, pelepasan. Saya minta waktu bicara lebih lama. Saya hendak menyampaikan pesan kepada teman-teman pengabdi.”
“Berarti acaranya pagi?”
“Enggak. Kebetulan bareng dengan acara YDSF. Pagi, YDSF dulu.”
Siang itu Ustaz Haris juga menunjukkan buku dari Al Hikmah—lembaga Pendidikan di Surabaya—kepada saya. Menurut beliau, buku itu perlu dibaca, terutama oleh pengurus Yayasan. Saya sempat membuka beberapa halaman. Di bagian belakang. Saya lihat ada beberapa tip untuk guru. Saya pun berminat membacanya. Ustaz Haris berkenan meminjami.
Pertemuan dengan Ustaz Haris saya sudahi. Saya harus tahu diri. Sudah lebih dari 90 menit saya mengajak bicara beliau siang itu. Memang tidak terasa. Saya sangat nyaman bila berbicara dengan beliau. Tidak hanya melihat dari satu sudut pandang dan kepentingan beliau saja, tetapi juga melihat dari berbagai sudut pandang dan memperhatikan kepentingan lawan bicara.
Jadi, saya pun merasa kehilangan tempat curhat. Begitu berat rasanya. Namun, itulah kenyataannya. Saya pasti tidak bisa menolaknya. Dan selama ini beliau sudah sering memberi contoh. Bagaimana menyikapi kenyataan hidup? Saatnya saya mempraktikkannya. Insyaallah bisa. (A1)