“Yang bersuara, silakan di luar!” aba-aba tegas Ridho, ketua kelompok drama “Pertempuran Surabaya”.

Seketika, suasana yang tadinya riuh mendadak sunyi. Saya hanya bisa terpaku, mengamati jalannya kegiatan dengan takjub. Takjub melihat Ridho memimpin teman-temannya dengan percaya diri.

“Langit, boleh ke depan!” seru Ridho. Suaranya menggelegar, namun tetap terkontrol. “Langit, nanti tolong bantuin arahin teman-teman,” imbuhnya.

“Teman-Teman, yang tampil di karpet. Yang gak tampil di luar karpet. Kalau ada yang berisik atau bermain, langsung keluar!” perintahnya tanpa kompromi. Aura tegas dan bijaksana terpancar jelas dari Ridho. Suasana pun menjadi lebih fokus. Tiap pasang mata tertuju pada Ridho dan Langit, yang berdiri di depan.

Ridho dan Langit mengatur strategi. Tiap anggota sudah diberi peran sesuai yang dibutuhkan. Mereka siap memulai adegan.

“Dua,  tiga, … action,” aba-aba Qaleed, tanda adegan dimulai.

“Jamu, … jamu, …,” ucap Valda, pemeran penjual jamu gendong.

“Stop!” seru Ridho, memberhentikan adegan Valda. “Kayak gini, lo, Val,” perintah Ridho, sembari memeragakan.

Saya tertawa geli dibuatnya. Bukan karena adegannya. Tapi karena takjub melihat spontanitas mereka.

Tak hanya Ridho, Langit dan Qaleed juga tanggap. Saat ada temannya yang tampil belum maksimal, mereka turut mengarahkan dan memberi contoh.

Dan, yang membuat saya makin kagum, beberapa kali Ridho bertanya kepada Langit mengenai alur selanjutnya. Mereka berdiskusi bersama. Tidak ada rasa sok tahu. Tidak ada pula rasa gengsi antara keduanya. Mereka benar-benar saling melengkapi.

“Maaf, Bu Guru boleh kasih saran, gak?” tanya saya, di sela-sela adegan.

“Boleh, Bu,” jawab Ridho mempersilakan.

Hari itu, hari pertama anak-anak latihan drama. Mereka menyusun skenario sendiri. Tanpa skrip. Ide-ide itu mengalir begitu saja dari pikiran mereka yang penuh imajinasi. Kreatif dan spontan. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan sekali.

Hari sebelumnya, saat pelajaran SB, saya menampilkan empat video tentang drama “Pertempuran Surabaya” di YouTube. Kemudian, saya membagi mereka menjadi dua kelompok. Masing-masing terdiri dari 13 dan 14 murid.

Setelah berkumpul dalam kelompok masing-masing, mereka berdiskusi mengenai kandidat ketua kelompok. Kelompok pertama terpilih: Ridho. Sedangkan kelompok kedua, suara terbanyak diperoleh Fillio.

Saat pemilihan ketua kelompok kedua, ada satu momen yang menggelitik saya. Di kelompok itu, terdapat lebih dari empat kandidat. Itaf, salah satunya. Ia memandu jalannya pemilihan kandidat. Raut harap-harap cemas begitu kentara di wajahnya. Dan, saat voting, suara terbanyak diraih oleh Fillio. Melihat hal itu, Itaf sempat memalingkan wajah. Sebentar. Tidak ada satu menit. Kemudian, ia langsung melanjutkan jalannya diskusi.

Alhamdulillah. Anak ini betul-betul berhasil mengendalikan emosinya. Baca juga: Serba Baru

Setelah pemilihan ketua, kedua kelompok mengambil undian tempat latihan. Tersedia dua lintingan kertas. Yang satu bertuliskan “ruang kelas”. Satunya lagi, “ruang yang belum difungsikan untuk kelas”. Kelompok Ridho memperoleh ruang yang belum difungsikan sebagai kelas. Sedangkan kelompok Fillio di ruang kelas.

***

Setelah doa pulang, saya sempat berbincang dengan Bu Puput mengenai pendampingan anak-anak latihan drama di kelas.

“Keren, Bu. Jenengan ajari gimana, Bu? Kok bisa gitu?” puji Bu Puput, setelah melihat tampilan drama di kelas. “Saya juga kaget. Kok, anak-anak bisa ngarahin alurnya juga,” imbuhnya.

Komentar Bu Puput makin memperkuat pendapat saya. Memang, anak-anak ini sungguh luar biasa. Benar-benar di luar dugaan.

Sungguh, sebuah pemandangan yang mengagumkan. Ketika diberi ruang untuk berekspresi, anak-anak tidak hanya tampil percaya diri. Tetapi juga berani bereksperimen. Bahkan melampaui ekspektasi. Saya benar-benar tercengang melihat potensi luar biasa yang terpancar. Potensi itu tumbuh dan bersinar.

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code