“Oke, sudah scan.”

Begitu kira-kira suara mesin perekam sidik jari yang ditempel di pilar gedung baru SD Islam Hidayatullah 02 sebelah selatan. Setelah saya tempelkan jempol tangan kanan saya pada mesin tersebut. Alhamdulillah, pagi itu, Jumat, 11 April 2025, saya datang ke sekolah dengan selamat.

Saya masuk gedung disambut oleh beberapa teman guru dan anak-anak. Sahut-sahutan uluk salam menghangatkan suasana pagi itu. Ditambah indahnya kalimat “minal-‘aidīn wal-fāizīn” yang dilantunkan setiap pertemuan antar-warga Sekolah. Begitu juga dengan senyum bahagia setiap wajah yang saya temui. Masyaallah, indahnya pagi itu.

Begitu masuk ruangan, rapinya tiap sudut juga turut menyenangkan hati saya. Lampu yang terang, udara yang sejuk, aroma yang harum. Ustaz Aruf dan Pak Kukuh, yang sudah datang lebih dulu, juga menyambut dengan senyum penuh kebahagiaan dan menyapa dengan tulus. Sungguh, betapa banyak nikmat yang Allah limpahkan pagi itu. Alangkah sombongnya saya jika tak mengucap “alhamdulillah”.

Saya pun memulai aktivitas hari itu dengan penuh semangat. Walaupun hari itu hari pertama masuk sekolah untuk anak-anak setelah libur panjang, kegiatan sudah cukup padat. Diawali dengan apel pagi dan berdoa bersama. Dilanjutkan dengan acara halalbihalal untuk seluruh warga Sekolah dan salat Duha. Setelah itu, di kelas masing-masing, anak-anak diberi kesempatan untuk bercerita tentang liburannya.

Saat itu yang mendapatkan kesempatan bercerita adalah Nadhif. Hari itu juga hari pertamanya masuk sekolah di semester genap ini. Sejak awal semester ia belum masuk sekolah. Ia masih berada di kampung halamannya. Sehingga, tentu banyak cerita sepanjang masa liburnya di kampung tercinta. Ya, Nadhif adalah perantau dari Tanah Gayo.

Ia berdiri di samping Bu Eva. Di depan papan tulis menghadap ke teman-temannya yang duduk di karpet. Di tengah ceritanya, ada satu kejanggalan pada ucapan Nadhif. Ia mengucapkan “aku”, bukan “saya”. Lalu Aldrich menyeletuk di barisan belakang.

“Kok, ‘aku’?” kata anak itu.

Nadhif merevisi, “Eh, ‘saya’.”

Baca juga: Celetukan Mulia.

Saya, yang berada di belakang anak itu, tanggap mengacungkan jempol untuknya. Mengapresiasi tindakannya ketika menemukan kejanggalan. Karena kejadian semacam itu adalah momentum yang sangat berharga. Saat anak akan merasa bangga ketika perilaku baiknya mendapat penghargaan meski hanya sekadar acungan jempol.

Nadhif, yang diingatkan, pun tidak merasa jengkel ataupun menunjukkan ekspresi tidak terima. Ia menerima koreksi dari temannya dengan senang hati. Bahkan ia langsung membetulkan ucapannya. Bu Eva, yang berada di sampingnya, juga mengacungkan jempol untuknya. Sungguh pemandangan yang indah pagi itu.

Kepekaan Aldrich terhadap kejanggalan adalah hal yang luar biasa. Di benaknya sudah tertanam suatu kebenaran. Kata “saya” akan lebih elok didengar daripada “aku”. Memang, Ibu/Bapak Guru sudah menanamkan untuk membiasakan pemakaian sebutan “saya”, bukan “aku”.

Bukan tanpa alasan. Bukan berarti kata “aku” tidak boleh digunakan. Tetapi akan lebih enak dan lebih sopan jika yang dikatakan adalah “saya”. Meski hanya dengan teman sebayanya.

Aldrich dengan pekanya dan Nadhif dengan legawanya. Mereka memainkan peran masing-masing dengan baik. Bukankah peka terhadap suatu kemungkaran merupakan perintah Allah? Bukankah menerima kritik, komentar, atau saran juga perintah Allah? Apalagi kalau bersifat membangun. Akankah kita bercermin pada sikap mereka berdua? Wallāhu a’lam.

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code