“Sikap berdoa!” aba-aba kapten Abri. “Tangan diangkat!” Sorot mata kapten menyapu seluruh penjuru kelas. Memastikan semua teman-temannya mengangkat tangan. Setelah semua mengangkat tangan, kapten melanjutkan aba-aba berikutnya, “Kepala menunduk! Berdoa mulai!”
Murid-murid melantunkan doa sebelum makan dengan khusyuk.
Bu Eva terlihat masih mengurus sesuatu. “Bu, ini anak-anaknya boleh dipanggil?” tanya saya memastikan. Maklum, hari itu kali pertama saya bergabung di kelas 1. Eh, sebelumnya sudah pernah, ding. Namun, itu dulu di semester 1. Tepatnya, awal bulan November. Baca juga: Mencoba.
“Kelompok Arab Saudi,” sila saya kepada anggota kelompok untuk mengambil nasi, lauk, dan sayur. Hari itu menunya sayur capcai nyemek, bakwan jagung, dan buah pisang.
Saya mengamati anak-anak mengantre makanan. Mereka berbaris dengan rapi dan tertib.
“Gabi, gak coba dulu kuahnya?” tawar saya.
“Mmm … Enggak, Bu,” tolaknya dengan suara pelan sembari menggelengkan kepala.
“Coba dulu saja sedikit,” bujuk saya.
Saya segera mengambil kuah sayur dengan sendok baru—belum dipakai. Tidak banyak. Hanya setetes saja. Kemudian saya sodoran sendok tersebut agar diambil alih Gabi. Sejenak, ia ragu. Tampak tidak yakin. Kemudian Gabi menerima dan mau mencoba sembari jongkok. Dan, wow, matanya tampak bersinar! Tak hanya itu. Wajah Gabi turut semringah. Saya, yang melihat, pun tertular kebahagiaannya.
Gabi segera mengambil kuah sayur. Cukup banyak. Sampai-sampai nasinya tampak seperti sedang berenang di kolam. He-he. Saking sedikitnya ia mengambil nasi. Saya pun dibuat geli melihatnya.
Memang, sering kali terlupakan. Bahwa kebahagiaan bisa ditemukan pada hal-hal kecil. Seperti Gabi, yang hanya butuh sedikit dorongan untuk menemukan keajaiban dalam kesederhanaan.
Sungguh, momen kecil seperti ini yang membuat hari-hari saya di kelas terasa lebih berarti. Melihat anak-anak belajar dan tumbuh serta mampu mengajarkan mereka lebih dari sekadar pelajaran di buku adalah hadiah yang tak ternilai. “Terima kasih, Gabi!”