Kamis, saya datang ke sekolah lebih awal. Belum banyak sepeda motor yang terparkir di area parkir depan. Saya melihat baru sekitar empat hingga lima sepeda motor terparkir di sana. “Oke,” sidik jari saya terbaca oleh mesin pencatat waktu. Tepatnya pukul 06.20. Setelah itu saya memasuki pintu masuk sekolah. Saya disambut oleh Azka—murid kelas 1—yang memberi salam kepada saya.
Saya bergegas menuju ruang kelas 2. Belum ada guru atau murid yang datang. Setelah menaruh ransel, saya bergegas menuju musala untuk menunaikan salat Duha. Usai salat, saya kembali ke kelas. Saya dapati Bu Wiwik dan beberapa murid sudah datang.
Pukul 06.57, bel penanda masuk sekolah berbunyi. Murid-murid bergegas membuat barisan di depan kelas. Terdapat dua barisan untuk melaksanakan apel pagi: satu barisan murid putra dan satu barisan murid putri. Setelah itu, berdoa bersama lalu tahfiz.
Saya berjalan menuju kelompok tahfiz. Sebelumnya, di meja kelompok yang kami gunakan terdapat beberapa bangun datar—terbuat dari kertas—hasil karya murid dan penggaris plastik berwarna biru milik Rafa.
Tahfiz saya mulai dengan murajaah surah Al-Balad. Caranya klasikal: murid-murid melantunkan surah Al-Balad bersama-sama. Selanjutnya, setiap murid melantunkan surah Al-Balad satu per satu. Tahap kedua ini biasa disebut setoran hafalan.
Pada pertemuan sebelumnya, Mika dan Tristan berhasil menyetorkan hafalan surah Al-Balad. Ketiga anak lainnya belum menyetor: Nafiza, Dea, dan Vira.
“Nafiza, Dea, dan Vira sudah hafal surah Al-Balad, kan?” selidik saya.
“Belum terlalu hafal, Bu,” jawab Vira. Kedua murid lainnya menggeleng.
Saya berusaha mencari cara lain.
“Ya sudah, jika belum hafal, yuk, dihafalkan bersama-sama, bertiga,” saran saya.
Saya, Tristan, dan Mika menyimak lantunan surah Al-Balad mereka. Sesekali mereka lupa awal ayat selanjutnya. Saya membantu melantunkan potongan awal ayatnya.
Saya fokus menyimak. Begitu pula Mika. Sedangkan Tristan sedang fokus memainkan penggaris plastik berwarna biru dengan menggesekkannya pada tepi meja. Ingin sekali saya menegurnya, tetapi saya takut akan mengganggu fokus ketiga murid yang sedang melantunkan surah. Akhirnya, saya lebih memilih mengurungkan niat saya untuk menegur Tristan.
Tiba-tiba, Dea, yang duduk di dekat Tristan, mengambil penggaris yang dimainkan Tristan, lalu meletakkannya di dekat saya. Deg, seketika saya terkejut. Tetapi saya berusaha mengondisikan sikap. Ketiga murid itu masih melantunkan surah.
Tristan memberi kode kepada Nafiza untuk mengambil penggaris di dekat saya, tetapi Nafiza tidak menghiraukan kode dari Tristan. Ia masih melantunkan surah. Sampai akhirnya satu surah penuh berhasil dilantunkan oleh ketiga murid. Setelah itu, tahfiz saya tutup dengan salam.
Saya masih merenung. Saya jadi merasa bersalah tidak menegur Tristan. Ternyata Dea terganggu dengan sikap Tristan. Bahkan, bisa jadi Vira dan Nafiza juga merasa demikian. Saya belajar banyak dari Dea. Meskipun ia murid pendiam, tetapi aksinya tadi bisa menjadi cara baru untuk menegur murid tanpa berbicara. Bisakah saya meniru Dea? Beraksi tanpa banyak bicara.