“Coba lagi,” sahut mesin pencatat waktu kehadiran. Saya mengangkat jari telunjuk kanan saya. Saya ulangi lagi prosedur yang sama: menempelkan jari telunjuk kanan. Kali ini saya pastikan sidik jari saya terbaca sensor mesin. “Terima kasih,” sahut mesin itu. Di monitor mini mesin tersebut tampak angka 06:25.
Selasa (04/02/2025) pagi yang cerah. Secerah wajah Bintang yang menyambut saya di depan pintu kelas 2.
“Oh, hari ini Mas Bintang piket penyambutan, ya?”
“Iya, Bu,” jawab Bintang, sembari salim.
“Mas Bintang diantar siapa tadi?” selidik saya.
“Papa.”
Bintang adalah anak yang pertama datang. Bahkan, mendahului saya. Sebenarnya, Bintang terjadwal piket hari Senin. Namun, Bintang belum bisa melaksanakan tugasnya karena ia datang pukul 06.50 hari itu. Tersepakati, petugas piket penyambutan diharapkan sudah tiba di sekolah sebelum 06.45.
Sejak 20 Januari 2025, petugas penyambutan dibantu oleh anak-anak. Dengan sistem piket. Tiap-tiap kelas mendelegasikan dua anak setiap harinya.
Selasa ini, Bintang berupaya untuk melunasi “utangnya”. Dan ia berhasil. Bahkan melampaui harapan. Mendapati fakta ini, saya merenung. Tidak mudah menjadi Bintang. Setidaknya, ada beberapa tahap yang harus ia lalui.
Pertama, Bintang harus sadar bahwa Senin itu ia gagal menepati tanggung jawabnya. Bersyukur, Bintang segera menyadari kealpaannya. Setelah sadar bahwa ia salah, Bintang pun mencari cara agar bisa memperbaiki kesalahannya. Bisa jadi, setelahnya, Bintang menceritakan kegundahannya kepada orang tuanya.
Tak dimungkiri, kehadiran anak ke sekolah sangat bergantung pada orang tuanya. Keberhasilan Bintang tiba di sekolah sebelum 06.30 pasti berkat dukungan penuh orang tuanya. Terbukti pada percakapan saya dan Bintang di atas.
Dari yang mulanya salah, Bintang akhirnya sadar. Tak hanya berhenti hingga sadar saja, Bintang gigih mengusahakan agar bisa menunaikan kewajibannya. Terdapat proses refleksi dan evaluasi yang Bintang lakukan. Kembali, dari seorang Bintang yang masih kecil, saya belajar! Terima kasih, Nak.