Kamis (23/01/2025) itu benar-benar hectic, tapi juga penuh cerita yang menyentuh hati saya.
Setelah mengajar BAQ, saya mampir ke ruang TU. Ada hal yang mesti saya kerjaan: mencetak LK. Setelah itu saya berniat ke SDIH 01 untuk memfotokopinya. Kebetulan anak-anak sedang pelajaran Bahasa Indonesia bersama Bu Indah.
Bel istirahat sudah berkumandang.
“Alhamdulillah, selesai. Semoga waktunya cukup untuk ke SDIH 01,” saya bersenandika sambil melirik jam tangan.
Saya mampir ke kelas untuk mengambil sesuatu. Di tengah kesibukan itu, Agny, seorang gadis kecil, menghampiri saya dengan wajah lesu. Mata yang biasanya ceria, kini tampak sayu. Saya tempelkan punggung tangan saya ke dahinya.
“Masyaallah, panas sekali,” gumam saya.
“Agny pusing, nggak?”
Agny menganggukkan kepala. Kedua bibirnya dirapatkan.
“Mbak Agny mau pulang?” tanya saya lembut.
“Iya,” jawabnya lirih.
“Bu Eva teleponkan Mama dulu, ya. Agny istirahat dulu di UKS.”
“Mau muntah, Bu,” ucapnya lirih sembari menutup mulutnya dengan kerudung.
“Sebentar, ya, Nak, tahan dulu. Kita ke toilet, ya,” sahut saya.
Saya membimbing Agny perlahan ke kamar mandi. Tiga anak putri membuntuti kami mengekor sampai kamar mandi. Di sana, ia muntah sedikit. Walau tak banyak, saya tahu betul, betapa lega rasanya bisa mengeluarkan rasa mual yang tertahan.
“Sudah, Nak?” tanya saya memastikan.
Lagi-lagi Agny hanya menganggukkan kepala. Wajar saja. Pasti ia sudah tak kuasa menahan rasa tidak enak di badannya.
Setelah itu, saya menggandeng tangannya menuju UKS.
Ceklek. Suara pintu yang berhasil terbuka.
“Bu, itu UKS putra!” ujar Aqilaa.
“Astagfirullah! Bu Eva lupa.”
Namun, hal itu membawa saya pada kejutan lain—Faeyza, murid saya yang lain, tergolek di sana. Ternyata ia juga sedang sakit.
“Sebentar, ya, Mas Eyza. Bu Eva antar Agny dulu.”
Saya menuju UKS putri yang bersebelahan dengan UKS putra. Di sana ada Ustazah Layla. Ya, itu sekaligus menjadi ruangan beliau. Lantas saya meminta izin kepada Ustazah Layla. Saya membaringkan Agny di kasur lalu menyelimuti tubuh kecilnya dengan kain tebal bermotif garis yang tersedia di UKS. Kainnya cukup lembut untuk sekadar menghangatkan badan.
Saya masih berdiri di tepi ranjang tempat Agny berbaring, menatap wajahnya yang kini lebih pucat dari biasanya. Saya mengelus pelan kepalanya, merasakan betapa panas suhu di tubuhnya. Begitu selimut menutupi tubuh Agny, ia langsung memegangi selimutnya seraya meringkuk sedikit di bawah selimut.
Selesai mengurus Agny. Saya berpindah ke Faeyza. Subhanallah, kondisinya sama. Demam, pusing, dan muntah.
“Eyza sudah muntah berapa kali?” selidik saya penasaran.
“5 kali,” sahutnya pelan.
“Masyaallah. Di mana, Eyza, muntahnya?”
“Di toilet.”
Saya bergegas mengurus keduanya, memastikan mereka nyaman, dan segera menghubungi orang tua masing-masing.
Sambil menunggu, saya mengoleskan minyak kayu putih ke tubuh mereka dan menempelkan kompres dingin di dahi mereka. Berharap demamnya bisa kunjung reda.
Saya ke kelas sebentar untuk melihat kondisi kelas. Alhamdulillah, aman.
“Kelompok Jakarta dan Semarang, Bu Eva minta tolong, boleh?”
“Apa, Bu?” sahut beberapa anak.
“Mas Eyza dan Mbak Agny lagi sakit. Sebentar lagi mau dijemput. Bu Eva minta tolong yang satu kelompok dengan Agny dan Faeyza, tas dan barang-barangnya dibereskan, ya, Nak. Bu Eva ada urusan sebentar.”
“Siap, Bu!” seru Azka.
Hamka juga sigap membantu Azka.
“Udah aku aja, Bu,” ucap Aqilaa sambil berlari menuju loker-loker.
“Aku ikut!” kata Mutiara, teman sekelompok Agny.
Kirana dan Sofie tak mau ketinggalan. Padahal mereka tidak sekelompok dengan Agny. Tapi mereka bersemangat sekali.
Baru saja saya tinggal sebentar, tanpa banyak instruksi, mereka membawakan tas dan perlengkapan kedua temannya yang sakit ke UKS.
Langkah saya terhenti di ambang pintu UKS. Ada pemandangan manis yang menyambut saya. Anak-anak berkumpul di sekitar Agny dan Faeyza. Mutiara dan Sofie membantu Agny minum, sementara Kirana memegangi botolnya. Aqilaa memegangi tas Agny. Azka dan Hamka membawa tas Faeyza dengan hati-hati.
“Cepet sembuh, ya, Agny,” ucap kirana dengan manis sambil mengacungkan ibu jari.
“Dadah, Agny! Semoga cepet sehat,” ucap temannya yang lain.
Saat ibunda Agny datang, beberapa menit kemudian diikuti ibunda Faeyza, hati saya terasa hangat.
“Alhamdulillah,” batin saya sambil menghela napas.
Rencana saya ke SDIH 01 pun tertunda. Tapi tak apa, masih bisa diganti saat jam pelajaran Bahasa Jawa.
Siang itu, sekitar pukul 10.30, saya sedang merapikan beberapa berkas di meja. Tetiba Bu Indah datang menghampiri saya. Di sisinya, tampak Abrisam berjalan pelan dengan wajah lesu.
“Bu, Abrisam lemes, katanya,” lapor Bu Indah.
“Mas Abri masih kuat, nggak?” tanya saya.
Abrisam menggelengkan kepala, wajahnya tampak pucat. Ia sedang puasa. Tubuh kecilnya mulai kehabisan energi. Wajar saja, Abri masih anak-anak, energinya banyak terkuras karena aktivitasnya yang begitu tinggi. Dalam hati, saya tak ingin memaksanya melanjutkan puasanya, meskipun waktu azan Zuhur tinggal sebentar lagi.
Lantas saya memberinya segelas air minum karena tentu saja ia tidak membawa minum dan bekal.
“Mas Abri mau pisang?” tanya saya lagi, mencoba menawarkan sesuatu yang mungkin bisa membantu.
Namun, lagi-lagi ia menggelengkan kepala pelan.
Saya berpikir keras. Apa lagi yang bisa saya lakukan untuk membantunya? Saya tidak membawa makanan, sementara wajah Abri terlihat makin kelelahan.
“Abri kenapa, Bu?” tanya Aldrich, yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.
“Abri lagi buka puasa, badannya lemes, tapi belum ada makanan,” terang saya.
“Ini buat kamu, Abri,” ujar Aldrich, teman karibnya, sambil menyodorkan sepotong roti dari bekalnya sendiri.
Tak terduga. Aldrich, yang dikenal pendiam dan berpembawaan cuek, ternyata begitu ringan berempati. Saya terharu sekaligus bangga.
“Mas Aldrich sudah kenyang?” selidik saya memastikan.
“Sudah,” jawabnya.
“Terima kasih, ya, Mas Aldrich,” ucap saya sambil menatap Aldrich.
“Makasih, Aldrich,” ucap Abrisam lirih.
Masyaallah, lagi-lagi pertolongan Allah datang dengan cara yang begitu manis. Abrisam menerima roti itu dan mulai menggigitnya sedikit demi sedikit.
Setelah itu, saya biarkan Abrisam beristirahat di UKS untuk memulihkan tenaganya. Alhamdulillah, ia masih sanggup ikut salat Zuhur berjemaah. Usai salat Zuhur, ia sudah kembali ceria. Bahkan bisa berlari-lari di playground.
Siang itu, saya belajar lagi tentang indahnya berbagi. Anak sekecil Aldrich dengan hati tulusnya memberikan roti untuk temannya yang tengah kesulitan. Begitu pula dengan Abrisam, meskipun lemas karena puasa, ia tetap mencoba menjalani harinya dengan penuh semangat.
Terkadang di balik kepolosan anak-anak, kita menemukan pelajaran besar: tentang kebaikan, ketulusan, dan kekuatan untuk saling peduli tanpa memandang apa pun. Ternyata Kamis hectic yang membuat hati saya terasa penuh itu, sekaligus menjadi Kamis manis.