Ternyata saya masih mudah kemrungsung. Saya merasa sudah sering latihan. Kenyataannya: hari itu masih kemrungsung. Bahkan, sangat kemrungsung. Berarti, latihan saya belum tuntas. Ups, atau jangan-jangan sering latihan itu hanya perasaan saya saja. Yang sebenarnya: masih jarang latihan.
Sebetulnya Rabu (13/11/2024) itu belum jatuh tempo. Masih ada satu hari. Ya, Kamis (14/11/2024) adalah hari terakhir unggah dokumen. Namun, itu tak semata unggah dokumen. Juga ada menjawab pertanyaan. Jenis pertanyaannya: uraian. Sejumah 59 butir pertanyaan.
Saya bagi dua. Mengisi pertanyaan, Kamis. Memastikan dokumen selesai, Rabu. Jika dibutuhkan, Rabu itu saya berencana pulang malam.
Saya meminta agar dokumen dikirim ke grup WhatsApp maksimal pukul 14.00. Alhamdulillah, pukul 13.57 sudah terkirim 3 dokumen. Masih ada tiga yang belum dikirim.
Tidak bisa tidak. Saya harus menyiapkan kemungkinan pulang malam. Setidak-tidaknya pulang sangat terlambat. Empat orang saya ajak. Bu Wiwik, Bu Indah, Bu Yunita, dan Bu Nika. Namun, Bu Nika hendak ke dokter gigi sore itu. Beliau memohon izin, barangkali pulangnya mendahului teman-teman lainnya.
“Ke dokter gigi sekitar jam berapa, Bu?” tanya saya.
“Mungkin sekitar jam lima, Pak.”
“Gak pa-pa, Bu. Silakan Bu Nika atur sendiri, hendak pulang jam berapa. Pertimbangkan agar masih dapat ke dokter gigi,” respons saya.
“Nggih, Pak.”
“Jika perjalanan butuh waktu 30 menit, Bu Nika cukup sampai dengan jam setengah lima.”
“Sebenarnya periksa besok juga bisa, sih, Pak,”
“Oh, lha kondisi giginya, gimana, Bu?”
“Nggih, nanti kondisional saja, Pak Kambali. Bila memungkinkan, sore ini saya ke dokter gigi. Jika dibutuhkan untuk merampungkan berkas ini, saya tunda besok juga tidak mengapa.”
Setelah pembagian tugas, berlima berproses masing-masing. Saya, Bu Wiwik, dan Bu Nika di ruang kelas 1. Bu Yunita dan Bu Indah mengerjakan tugas di ruang kelas 2.
Saya berusaha fokus pada pekerjaan saya. Sesekali saya lihat jam di laptop. Ups, pukul 16.40. Saya perhatikan Bu Nika. Masih terlihat asyik di depan laptop. Saya ragu. Saya ingatkan ulang atau saya biarkan Bu Nika mengambil keputusan secara mandiri.
Kalau saya ingatkan, saya khawatir Bu Nika melakukannya karena intervensi dari saya. Untuk jangka panjang, itu tidak baik. Belum lagi jika Bu Nika justru lebih nyaman merampungkan dulu tugasnya sehingga saat ke dokter tidak kepikiran tugas yang masih menjadi tanggungannya. Namun, jika saya biarkan, saya khawatir Bu Nika pekewuh.
Sudah pukul 17.00. Bu Nika masih bertahan di tempat duduknya. Belum juga beranjak. Saya hanya berdoa, semoga Allah memberikan yang terbaik kepada Bu Nika.
Alhamdulillah, akhirnya rampung juga. Semua dokumen sudah terselesaikan. Saya lihat jam. Pukul 17.20.
Bu Nika bersegera pamit. Saya mempersilakannya. Selang beberapa saat kemudian, Bu Wiwik menyusul pulang. Saya masih harus berkemas. Dan akhirnya saya putuskan untuk salat Magrib bersama satpam. Usai salat Magrib, saya bersegera pulang.
Baca juga: Posting
Tiba di rumah, saya masih kepikiran Bu Nika.
“Jadi ke dokter gigi apa gak, ya?” batin saya.
Saya hendak menanyakannya. Namun, aktivitas di masjid harus saya laksanakan terlebih dahulu. Insyaallah nanti usai aktivitas di masjid.
Masyaallah, ternyata saya baru ingat lagi setelah bangun tidur. Saya tanya melalui chat WhatsApp.
“Jadi, Pak Kambali. Alhamdulillah, masih kecandak waktunya, Pak,” balas Bu Nika.
Saya bersyukur. Ternyata Bu Nika dapat melaksanakan tugas Sekolah hingga tuntas dan keperluannya ke dokter tetap dapat terlaksana di hari itu. Tiba-tiba saya ingat “Siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya.” (Al-An’ām: 160).
Kebaikan Bu Nika membantu saya sore itu tidak menjadikan tertundanya keperluan Bu Nika ke dokter gigi. Tidak mungkin itu terlaksana kalau tanpa intervensi Allah Swt. Semoga saya dimudahkan meniru kebaikan Bu Nika dan senantiasa diistikamahkan dalam kebaikan. (A1)