“Setelah ini, Teman-Teman boleh istirahat. Waktunya sampai jarum panjang di antara angka 8 dan 9. Yang bekal makanannya masih ada, dihabiskan terlebih dahulu. Untuk anak putra, silakan menyimpan pecinya di dalam loker. Barang siapa yang ingin memakainya, diperbolehkan. Asal tidak dimainkan, ya. Silakan,” instruksi saya.
Anak-anak bergegas beranjak dari karpet. Ada yang memanfaatkan waktu istirahat dengan membaca buku, makan bekal, dan bermain. Saya fokus di depan laptop. Salah seorang murid mendekati saya.
“Bu, sudah boleh persiapan mengaji?” tanyanya.
Saya langsung melihat jam dinding yang tergantung pada tembok. Yap, jarum panjang hampir di antara angka 8 dan 9. Sesuai instruksi saya tadi, waktu istirahat sampai jarum panjang di antara angka 8 dan 9. Artinya, anak-anak sudah harus bersiap-siap untuk mengaji.
“Iya, boleh. Pendinginan dulu, ya. Kan, habis bermain,” jawab saya.
Saya, Bu indah, dan Ustazah Layla sepakat, jika waktu istirahat anak-anak kami pangkas kurang lebih 3 menit. Dengan alasan agar anak-anak dapat mendinginkan badan mereka setelah bermain, lalu bersiap untuk mengaji.
Selain menjadi guru kelas, saya juga ditugaskan untuk membimbing anak-anak mengaji. Kelompok mengaji kelas 2 terbagi menjadi tiga: kelompok 1 yang beranggotakan sebelas anak bersama Ustaz Adhit, kelompok 2 yang beranggotakan delapan anak bersama Ustaz Aruf, dan kelompok 3 yang beranggotakan tiga anak bersama saya.
Saya melihat jam pada ponsel. Sudah pukul 10.44. Saya segera bersiap untuk membimbing anak-anak mengaji. Pas, bel berbunyi. Saya segera menuju ke tempat mengaji. Kelompok mengaji saya terdiri dari Tristan, Nafiza, dan Aya. Saat saya datang, meja mengaji untuk anak-anak dan saya sudah tertata rapi. Kipas angin dan lampu sudah menyala.
Diawali dengan berdoa, lalu saya buka dengan salam dan menanyakan kabar.
“As-salāmu ˋalaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh,” ucap saya.
“Wa ˋalaikumus-salām wa raḥmatullāhi wa barakātuh,” jawab anak-anak.
“Bagaimana kabar Anak-Anak yang saleh-salihah pada siang hari ini?” lanjut saya.
“Alhamdulillah, luar biasa, semangat mengaji, naik jilid 6, Allahu Akbar, yes, yes, jos,” jawab anak-anak dengan nada khas mereka.
“Tadi, siapa yang menyiapkan meja mengaji?” tanya saya.
“Tristan, Bu,” jawab Aya dan Nafiza serempak.
“Tadi saya mau membantu enggak dibolehin Tristan, Bu,” sambung Aya.
“Loh, kenapa tidak diperbolehkan, Tristan?” selidik saya.
“Enggak apa-apa, Bu. Biar enggak ngerepotin, jadi saya saja. Kan, saya laki-laki sendiri,” jawab Tristan.
“Oh, karena Tristan laki-laki, jadi tenaganya lebih kuat, begitu?” lanjut saya.
“Iya, Bu,” jawab Tristan.
“Masyaallah, keren kamu, Tris,” balas saya.
Tristan membalas ucapan saya dengan tersenyum.
Secara tidak langsung, Tristan sudah menunjukkan proses pendewasaannya. Ia sudah mengerti bahwa tenaga laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Ia tidak mau merepotkan teman perempuannya jika ia bisa melakukannya sendiri. Sungguh, kamu hebat, Tristan. Semoga saat dewasa nanti, kamu akan menjadi lelaki sejati yang kuat dan dapat melindungi orang lain.
Good job, Tristan!
Baca juga: Mengingatkan Teman