“Baru tau rasanya murid kalau engga bisa kerjain soal PAS ini, Pak, berserah dan pasrah sudah.”
“Soal (ujian) seni susahhh bingitsss, Pak.”
“Subhanallah, menunggu keajaiban.”
“Jadi tau perasaan ikan di laut saat ditanya tentang apa aja yang ada di pucuk gunung.”
Beberapa chat masuk ke grup WhatsApp sesaat setelah jam ujian seni usai. Kami lantas berkumpul di gazebo untuk sekadar melepaskan penat. Semua yang berkumpul di sana mengeluhkan betapa sulitnya tes yang baru saja dilalui. Kebanyakan butir soal yang disajikan berupa soal hafalan. Proses belajar satu semester seakan dihakimi di hari itu dalam selubung penilaian sumatif. Ditambah lagi instrumen penilaiannya yang jauh dari ideal untuk institusi pendidikan sekelas universitas.
Ah, sudahlah. Tidak ada guna meratapinya.
Waktunya pulang. Notifikasi dari aplikasi transportasi online muncul di jendela gawai. Dua menit lagi driver tiba di lokasi penjemputan. Saya pamit. Menuju gerbang. Gawai saya berdering.
“Siang, Kak. Ini dari gojek. Saya sudah di depan gerbang.”
Saya bergegas menuju gerbang. Mencocokkan plat nomor kendaraan dengan yang ada di aplikasi. Ketemu. Hari itu jalanan cukup padat. Lalu lintas tersendat.
Angan saya melayang. Betapa saya merasa bersalah kepada murid-murid saya. Saya mengalami sendiri bagaimana saya buntu, tidak bisa berkutik, tidak ada petunjuk sama sekali dalam mengerjakan soal ujian. Itu pula pasti yang dialami murid-murid saya yang kadang terpaksa mengerjakan soal hafalan.
Baca juga: https://sdislamhidayatullah02.sch.id/2022/09/27/empat-tugas-guru/
Kembali saya teringat akan pesan Pak Kambali tentang empat tugas guru. Belajar, belajar, belajar, dan mengajar. (A2)