Kesekian kali Bu Layla menjadi orang yang paling terakhir hadir ke majelis BAQ kelas 1 yang diampunya, yaitu pukul 07.18. Tiga menit lebih lambat, semua anak duduk berjajar rapi dengan melipat kedua tangannya. Penyebab keterlambatan Bu Layla (lagi-lagi) dampak molor-nya waktu tahfiz yang diampunya di kelas 2. Ups, masalah klasik. Namun menjadi PR besar bagi Bu Layla hingga saat ini.

“Kita sudah siap, Ustazah,” sorak anak-anak dengan kompak.

Iya, mereka bersepuluh. Ada Abrisam, Aldrich, Nadhif, Hamka, Kirana, Amira, Nirmala, Mutiara, Sofie, dan Hana. Rutinitas yang setiap hari tidak diminta oleh Bu Layla. Hanya sekali saat awal tahun ajaran. Menata meja kursinya, mengumpulkan buku prestasi dalam kondisi terbuka, menyatukan tas kecil tempat buku modul mengaji, dan duduk berjajar rapi dengan melipat tangannya.

“Terima kasih, Teman-Teman, yang sudah menyiapkan diri untuk mengaji. Yah, Ustazah paling terakhir, ya?” tanya Bu Layla dengan maksud menguatkan bahwa mereka siap lebih awal.

“Sama-sama, Ustazah,” jawab mereka kompak. Namun ada satu suara yang terdengar paling lantang. Yaitu, Mutiara.

“Kita sudah siap dari tadi, lho, Ustazah,” ucap Mutiara dengan semangat.

“Oh, iya? Hebat, dong, kalian,” puji Bu Layla.

Kesiapan mereka sejak awal menjadi tolok ukur proses KBM hingga akhir. Semangat, senang, dan ceria. Itu kuncinya. Bagi Bu Layla, kondisi tersebut menjadi pemantik semangatnya. Betapa tidak? Malu rasanya jika hal ini tidak dijadikan ibrah.

Tidak berselang lama, pembelajaran BAQ dimulai. Pembukaan, pembacaan doa yang dipimpin kapten, berlanjut murajaah, dan seterusnya. Semuanya berjalan dengan lancar hingga akhir evaluasi dan doa penutup. Di sela-sela penutup, Bu Layla berpesan bahwa kapan pun dan di mana pun, anak-anak tetap menaati aturan. Hal ini selalu disampaikan Bu Layla, terlebih hari itu ada kejadian yang membuat Bu Layla cukup berbicara dengan nada tinggi sehingga anak-anak menyimpulkan bahwa Bu Layla marah. Toh, memang hari itu ada satu kejadian yang membuat kondusivitas KBM BAQ cukup terganggu.

“Demikian, Anak-Anak, untuk mengaji hari ini. Ustazah akhiri, Wassalāmualaikum wa rahmatullāhi wa barakātuh ,” ucap Bu Layla menutup majelis mengaji.

Wa ‘alaikumus-salām wa rahmatullāhi wa barakātuh,” jawab semua anak secara kompak.

Waktu salat Zuhur tiba. Seperti biasanya, semua siswa dari kelas 1 hingga kelas 3 bersiap untuk wudu dan melanjutkan persiapan salat di musala Sekolah. Duduk bersila dengan rapi, suara lantunan asmaulhusna terdengar nyaring dan kompak. Diawali salat kabliah Zuhur, semua siswa melaksanakannya. Berlanjut ke salat Zuhur berjemaah, membaca zikir, dan diakhiri salat bakdiah Zuhur. Tidak berselang lama, ada gadis kecil bertubuh tinggi dan berkulit putih yang tiba-tiba mendekati Bu Layla seraya meminta bersalaman.

“Ustazah, saya minta maaf, ya. Tadi membuat Ustazah marah saat BAQ,”  ucap gadis itu.

“Memang kamu berbuat apa, Nak? Kok minta maaf segala?” selidik Bu Layla.

“Iya, tadi saya membuat marah Ustazah, sehingga Ustazah bicaranya dengan suara kencang,” jelas gadis itu.

“Masyaallah. Oh, begitu? Tentu Bu Layla maafkan. Niatmu sangat baik, Nak. Insyaallah, Allah maafkan segala kesalahanmu, Nak,” jelas Bu Layla.

“Alhamdulillah. Terima kasih, Ustazah,” sambung gadis itu sembari melepas genggaman salamannya.

Dia adalah Nirmala. Siswa kelas 1 yang mengajinya diampu oleh Bu Layla. Tidak disangka, Nirmala bermaksud meminta maaf tanpa diminta. Kalau bukan Allah, siapa lagi yang menggerakkan hati Nirmala, yang masih suci, untuk meminta maaf kepada Bu Layla meski itu bukan kesalahannya? Hari itu, ada dua hal yang tidak disangka oleh Bu Layla. Hal besar, bukan hal kecil.

Tak disangka, saat KBM BAQ, semua siswa sudah istikamah menyiapkan diri. Tanpa diminta. Tak disangka pula, Nirmala meminta maaf atas kejadian saat BAQ meski itu jelas bukan dia pelakunya. Meminta maaf merupakan sikap yang membutuhkan keberanian dan dan hati yang kuat. Terlebih, dia bukan pelakunya. Allah mencatat kebaikannya dua kali lipat. Terima kasih, Nak!

Bagikan:
Scan the code