“Bu, Aqilaa nangis!” seru Nirmala.
Saya kaget. Aqilaa bukan tipe anak yang mudah menangis.
***
“Ing sawijining dina, ana gagak lagi mencok ing ndhuwur wit,” ucap saya mengawali kisah.
Anak-anak menyimak dengan saksama. Mereka tetap antusias memperhatikan apa yang saya kisahkan hingga kisah berakhir. Meski saya berbahasa Jawa, anak-anak kecil itu memahami isi ceritanya. Satu demi satu pertanyaan dapat mereka jawab dengan tepat.
Masih ada waktu 15 menit menuju bel istirahat kedua. Saya ajak mereka berkenalan dengan permainan Jamuran. Sebelum bermain, lima menit pertama saya gunakan untuk membinbing mereka menyanyikan lagu Jamuran.
Ups, ternyata Sofie sudah mengenal lagu itu. Saya menuliskan lirik lagunya di papan tulis. Meski sebagian besar murid-murid kelas 1 belum lancar membaca, saya tetap menuliskannya. Memfasilitasi para murid yang sudah bisa membaca, sekaligus memotivasi mereka yang belum lancar.
Lima menit berselang, sebagian besar lirik lagu telah dihafal oleh anak-anak. Saya ajak mereka mulai bermain. Murid-murid putra berdiri di pinggiran karpet sisi timur dan selatan. Sementara murid-murid putri berdiri di dua sisi lainnya.
“Bocah-Bocah, saiki padha gandhengan, ya!”
Saya berikan dua buah spidol kepada dua anak putri yang berdirinya bersebelahan dengan anak putra. Spidol itu digunakan untuk menyambung gandengan antara anak putra dan putri.
Anak-anak terlihat menikmati permainan itu. Hingga saat bel berbunyi, mereka agak kecewa karena harus menyudahi permainan yang baru mereka kenal itu.
“Teman-Teman boleh istirahat dulu,” komando saya.
Anak-anak berhamburan keluar kelas. Ada yang menuju wastafel untuk cuci tangan, ada pula yang langsung mengambil sandal untuk bermain di halaman Sekolah.
Nirmala, Adys, Celline, Aqilaa, Kirana, dan Mutiara duduk melingkar di karpet. Mereka membawa bekal masing-masing, kecuali Adys dan Celline. Ini kali kedua anak-anak makan bekal bersama di karpet. Saya pun turut membersamai mereka.
“Seru, ya, makan bareng di sini. Kaya kamping,” ujar Nirmala.
“Iya, saya jadi enggak sabar pengin segera hari Jumat. Besok kalau sudah libur, saya mau kamping, sama mama papa saya. Gabi juga,” jelas Adys penuh sukacita.
“Saya juga pernah nginep di hotel, Bu!” celetuk Celline.
Perbincangan berlangsung seru. Sambil menikmati kudapan, sesekali ketujuh anak ini bergurau dan tertawa bersama. Tak lupa, mereka saling membagi bekal yang dibawa.
Tiba-tiba, Aqilaa menjauh dari perkumpulan. Ia menuju kursinya. Aqilaa menangkupkan kedua lengannya di atas meja dan membungkukkan badannya. Air matanya tumpah. Nirmala menyusul Aqilaa. Nirmala tampak kebingungan melihat temannya itu menangis.
“Kamu kenapa, Qil? tanya Nirmala.
Aqilaa belum mau menjawab pertanyaan Nirmala. Saya hampiri keduanya.
“Mbak Aqilaa butuh waktu untuk menenangkan diri. Biar Mbak Aqilaa di sini dulu, ya, Nak. Mbak Nirmala melanjutkan makannya.”
Saya beralih ke Aqilaa, “Mbak Aqilaa, kalau sudah tenang, nanti cerita ke Bu Guru, ya,” bisik saya di telinga kanan Aqilaa.
Aqilaa mengangguk.
Baca juga: Mengelola Emosi
Bel berbunyi. Bu Shoffa telah tiba di kelas. Jam Matematika hari ini diisi oleh Bu Shoffa. Anak-anak duduk berbanjar di karpet.
“Mbak Aqilaa kenapa?” tanya Bu Shoffa.
“Tadi saya bawa Beng-Beng. Saya berbagi dengan teman-teman. Lalu, Beng-Beng-nya tinggal sedikit. Malah diminta Adys dan Celline.”
“Oh, tapi Mbak Adys dan Mbak Celiine sudah izin belum?” selidik Bu Shoffa.
“Sudah, Bu, tapi saya jadinya kebagian sedikit sekali,” jelas Aqilaa.
Bu Shoffa mendengarkan penjelasan Aqilaa dengan sabar. Beliau lantas memberikan arahan dan mengajak anak-anak untuk merefleksi kejadian yang dialami Aqilaa.
***
Jumat, 25/10/2024 pagi. Azka dan Kirana tiba di kelas saat saya masih di musala. Setelah menata isi tas mereka, keduanya lantas mengelap dan menata piring dan sendok ke dalam rak. Nirmala menyusul keduanya. Sembari membantu menata piring, Nirmala sesekali menengok ke arah pintu kelas.
Yang dinanti akhirnya datang. Nirmala bergegas mengambil sesuatu dari dalam lacinya.
“Qil, ini buat kamu!”
“Yeay!” seru Aqilaa. “Makasih, Nirmala!” tambahnya.
Aqilaa tampak semringah. Rupanya, Nirmala membawakan Aqila Beng-Beng. Saya menyaksikan interaksi keduanya dari kursi saya. Nirmala menyadarinya.
“Kemarin, saya sengaja beli dua Beng-Beng, Bu. satu untuk saya, satunya lagi untuk Aqilaa,” jelas Nirmala menghampiri saya.
“Masyaallah, terima kasih, ya, Mbak Nirmala. Semoga Allah membalas kebaikan Mbak Nirmala.”
“Amin,” balas Nirmala.
Rasa kecewa yang dialami Aqilaa kemarin mungkin sudah sembuh. Namun, Nirmala merasa tak cukup hanya dengan kesembuhan temannya saja. Ia ingin memuaskan hasrat kepeduliannya dengan memberikan hadiah manis yang tak sekadar menyembuhkan, tetapi juga membahagiakan. Berkat Nirmala, Aqilaa sembuh dan bahagia. (A2)