“Kita cari ruangan lain, Bu,” instruksi saya.
Sedianya menggunakan ruangan saya, tetapi ruangan saya sedang dipel Pak Slamet. Saya pilih ganti tempat dibanding menunggu Pak Slamet. Apalagi waktu yang saya butuhkan tidak lama. Rata-rata 20 menit. Pernah lebih, tetapi sangat jarang. Kurang pun pernah, hanya 10 menit. Yang terpenting, saya berusaha merutinkan. Walau hanya sebentar pertemuannya.
Pertemuan itu saya jadwalkan pagi hari. Pukul 06.30. Biasanya di jam segitu, anak-anak belum banyak yang tiba di sekolah. Dengan demikian, tiba di sekolah, hati saya tidak kemrungsung. Terasa lebih tenang. Ini berbeda jika saya tiba lebih siang. Meskipun belum pukul 07.00. Katakanlah pukul 06.50. Anak-anak sudah banyak yang datang. Ada yang bermain di lapangan. Ada yang bersiap berbaris di selasar. Ada yang membaca buku di kelas. Ada yang beres-beres tas dan isinya. Suasana sudah begitu ramai. Jika sudah demikian, rasanya kemrungsung. Hati tidak tenang. Emosi mudah tersulut.
Saya meyakini, hal yang sama juga dirasakan oleh guru-guru lain. Termasuk karyawan non-guru. Jadi, selain untuk menyelesaikan agenda eksplisit, pertemuan pagi tersebut sekaligus saya gunakan untuk membiasakan datang gasik bagi diri saya sendiri dan Bu Indah.
Saya sudah menentukan tempat penggantinya: musala. Ups, ternyata digunakan untuk salat Duha oleh sejumlah guru.
Saya cari ruangan lain. Dapat. Di jam sekolah, ruangan ini biasanya digunakan untuk mengaji. Sebelum pukul 07.15, ruangan masih kosong dan belum dipakai.
Ruangan masih tampak gelap. Saya nyalakan lampu. Sekarang, jauh lebih terang dan lebih nyaman. Saya mengambil posisi duduk. Diikuti Bu Indah, yang dari tadi berada di belakang saya. Pintu ruangan terbuka. Jendela juga terbuka lebar. Memang tanpa daun jendela. Beberapa anak yang lalu Lalang dari dan ke toilet terlihat dari dalam ruangan tersebut.
Saya memastikan beberapa kompetensi keislaman yang harus dikuasai Bu Indah. Setelah itu, saya lanjutkan dengan pembahasan tentang standar mutu lulusan. Ada tujuh standar mutu. Namun, saya hanya membahas satu standar mutu saja. Itu pun belum berhasil saya tuntaskan. Saya lihat jam di HP. Sudah saatnya saya cukupkan. Saya berusaha untuk komitmen: sedikit tak mengapa asal sering dan terus-menerus.
Pertemuan saya akhiri. Saya bergegas keluar ruangan. Ups, baru sekitar tujuh langkah keluar dari ruangan, saya baru ingat: saya belum mematikan lampu. Saya hendak kembali ke ruangan. Eh, baru putar badan, ternyata saya dapati pemandangan yang membanggakan. Bu Indah tampak sedang mematikan lampu.
Menurut saya, sikap Bu Indah sangat dibutuhkan bagi seorang guru. Guru perlu mempunyai perilaku yang patut dicontoh. Meski itu di waktu yang tidak dilihat oleh muridnya. Perilaku semacam itu sangat berpengaruh bagi muridnya.
Baca juga: Pengaruh Guru
Itulah yang membuat saya bangga. Alhamdulillah. Terima kasih, Bu Indah. Namun, di saat yang sama, sekaligus saya juga malu. Justru saya yang lupa mematikan lampu. Saya belum bisa memberi contoh. Dan sudah sepatutunya saya belajar dari pengalaman Rabu pagi itu. (A1)