“Bu, hari ini ke playground?” tanya salah seorang anak.
“Iya, insyaallah,” jawab saya sembari menganggukkan kepala.
“Yey, … Nanti ke playground, lo,” lapor anak tersebut ke teman-temannya.
Anak-anak selalu riang dan antusias setiap kali mendengar ajakan ke playground.
***
Kami berangkat ke playground setelah makan siang. Pernah di suatu Kamis, kami ajak anak-anak ke sana sebelum Zuhur karena setelah Zuhur ada selawat bersama dalam rangka maulid Nabi. Baru bermain sebentar, anak-anak sudah lelah dan mengeluh capek. Saya tak tega melihat mereka lemas dan kurang semangat. Bisa jadi penyebabnya karena perut belum terisi sehingga kurang bertenaga.
“Teman-Teman, nanti saat berangkat menuju playground dan kembali ke Sekolah, Bu Eva berpesan. Semuanya harus ja…?”
“…lan. Tidak boleh lari,” jawab sebagian murid.
“Betul. Jalan saja hati-hati, tidak boleh ada yang lari seperti pekan kemarin. Paham, Teman-Teman?”
“Paham, Bu,” jawab mereka serempak.
“Yang mau membawa minum, boleh. Tidak juga tidak apa-apa.”
“Nanti anak putri memakai sepatunya di depan Musala. Anak putra di depan kelas, ya.”
“Iyaa, Bu,” Jawab mereka lagi serempak.
“Anak putri, silakan, boleh keluar dulu, memakai sepatu, lalu baris seperti biasa,” lanjut saya.
Kemudian anak putra saya susulkan.
Hampir semua anak sudah berbaris. Tinggal dua atau tiga anak lagi yang masih memakai sepatu.
Saya melirik jam tangan. Sudah pukul 12.55. Artinya, harus bersegera. Pak Kukuh belum terlihat. Saya berniat meminta tolong salah satu anak untuk memanggilkan. Saya ragu, saya coba sabar dulu. Barangkali Pak Kukuh setelah itu langsung keluar. Ternyata belum terlihat juga. Mungkin saja masih ada urusan.
Saya keluarkan ponsel dari saku. Saya cari kontak Pak Kukuh lalu saya panggil. Eh, alhamdulillah, sejurus kemudian Pak Kukuh keluar dari ruangannya dan berjalan menuju kami. Langsung saya batalkan panggilan telepon tadi.
“Anak putri ikut Bu Eva. Anak putra menyusul setelah anak putri, ya,”
Alhamdulillah, Pak Yuli senantiasa membantu kami menyeberang jalan.
Sesampainya di sana, anak-anak bermain di wahana bergelantung didampingi Pak Kukuh. Setelah semua mencoba, baru boleh bebas bermain yang lain.
Tetapi khusus Gabi harus menyelesaikan tugas memanjat di wahana yang mirip bola dunia. Pekan kemarin ia belum bisa mencoba sebab ia lupa mengenakan legging. Saya mendampingi Gabi. Gabi mulai memanjat, melewati empat anak tangga, namun langkahnya terhenti di atas. Tampaknya ia takut dan sempat menangis. Cukup lama ia berhenti di atas. Mencoba melangkah namun mundur lagi.
“Gak berani. Gabi takut, kalau jatuh gimana?” rintih Gabi.
Saya memutuskan memanjat mainan bola dunia itu, berharap Gabi lebih berani walau tidak saya pegangi. Kaki dan tangannya bergetar.
“Gabi pasti bisa! Bismillah! Bu Eva di sini, kok, Nak. Ada Pak Kukuh di sana. Kan ada Allah juga,” bujuk saya.
Gabi mulai berusaha lagi mengangkat kakinya.
“Ayo, Gabi!” Sorak teman-temannya, terus menyemangati Gabi.
Langkah demi langkah Gabi melewati rangka besi itu, balik badan, dan mulai bergerak untuk turun. Sampai akhirnya Gabi lolos melewati ujian itu.
“Zap!” Gabi lompat ke bawah dan langsung memeluk saya sembari menangis. Namun, bibirnya tersenyum lebar. Pastinya ia bangga pada dirinya sendiri.
“Alhamdulillah. Mbak Gabi hebat! Sudah berani,” tutur saya.
Masyaallah, meski awalnya ia sangat ketakutan, ia tidak menyerah. Ia berhasil melawan rasa takutnya. Tentu ini bukan proses yang mudah baginya.
Setelah itu, saya membolehkan Gabi bermain yang lain. Saya menuju pondok kayu dan duduk sejenak. Tak berselang lama, salah seorang anak putri menghampiri saya.
“Bu, tadi saya dilihatin ibu-ibu,” lapor Aqilaa.
“Oh, ya? Ibu-ibu siapa?”
“Ibu-ibu TK, Bu,” sahut Aqilaa.
“Memangnya kenapa Aqilaa dilihatin?” tanya saya penasaran.
“Tadi, kan, saya mau pipis. Saya ke belakang. Terus saya dilihatin. Terus saya bilang, ‘Bu, bolehkah saya izin pipis?’, gitu, Bu” sambungnya.
“Terus bu guru TK-nya jawab apa?” tanya saya lagi.
“’Iya, boleh’, gitu,” jawab Aqilaa.
“Masyaallah, Mbak Aqilaa hebat, anak yang sopan,” tutur saya sembari mengacungkan jempol kanan.
Aqilaa membalas dengan tersenyum.
Aqilaa anak yang peka dengan keadaan sekitar. Ia juga anak pemberani namun tak lupa dengan adab yang semestinya.
Baik Gabi dan Aqilaa, dua-duanya gadis pemberani. Momen di siang itu (03/10/2024), patut saya syukuri. Semangat berproses dengan baik, ya, Nak.