“Sudah baca doa apa belum, Pak?” selidik saya.
Duh, ternyata belum. Namun, itu bukan salah Pak Aruf. Justru saya yang belum tuntas menyampaikan info kepada Pak Aruf. Saya memang tidak sempat memastikan pemahaman Pak Aruf atas info yang saya kabarkan. Saya terlalu tergesa-gesa meninggalkan Pak Aruf. Dan segera beralih ke acara berikutnya—yang saya sudah terlambat.
Memang saya sempat ragu, “efektifkah cara ini?” Tetapi saya belum mendapat cara lain yang lebih jitu. Setidaknya menurut keyakinan saya.
Kamis (26/09/2024) siang, Langit dan Haqqi saya tahan di musala. Teman-temannya sudah kembali ke ruang kelas.
“Ada apa, Pak?” tanya Haqqi.
“Tadi Haqqi dan Langit guyon terus dari awal hingga akhir zikir, ya?”
“Ya, Pak.”
“Sekarang silakan zikir dulu.”
Haqqi merampungkan zikirnya. Berbeda dengan Haqqi, Langit berjalan mengelilingi musala. Sesekali ia melompat. Lalu bermain dengan tiang yang ada di tengah musala.
“Alhamdulillah, terima kasih, Haqqi. Zikirnya bagus! Sekarang, Haqqi bisa kembali ke kelas.”
“Baik, terima kasih, Pak Kambali.”
Haqqi bergegas keluar musala. Menuju ke ruang kelas 3. Melihat Haqqi keluar musala, Langit mendekati saya. Ia mengambil posisi duduk di depan saya.
“Saya juga mau ke kelas, Pak.”
“Oh, tentu. Tapi Langit zikir dulu, ya!”
“Lah, tadi, kan, sudah?”
“Oh, tadi sudah zikir? Menurut Langit, saat zikir tadi, kurangnya di bagian apa?”
“Apa?”
“Justru Pak Kambali yang ingin tahu. Kurangnya di bagian apa?”
“Apa?”
“Langit sudah tahu sikap saat zikir harusnya gimana?”
Langit mengubah posisinya. Kini ia sudah dalam kondisi siap zikir. Posisi duduknya sudah sesuai. Ekspresi wajahnya sudah siap. Lalu ia melantunkan zikir setelah salat. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur. Akhirnya Langit bersedia melantunkan zikir. Memang Langit termasuk salah satu anak yang cerdas. Ia dengan mudah menangkap penjelasan orang lain. Hanya, terkadang ia bercanda, pura-pura tidak paham. Atau sudah paham tapi enggan melakukan. Sadar keliru tapi enggan mengulangi.
Yang seperti itu sebetulnya tidak hanya Langit. Saya pun demikian. Sering kali saya sadar atas kekeliruan diri tapi malas untuk memperbaiki. Memang manusia diberi akal sekaligus diberi hawa nafsu. Akal mengajak baik. Sedang hawa nafsu mengajak enak. Kadang yang baik tidak selalu enak. Dan yang enak tidak selalu baik. Kalau hawa nafsu sedang berkuasa, rasanya ingin enak terus. Tak peduli itu tidak baik. Astagfirullah.
Maka, demi melihat Langit bertanggung jawab untuk mengulang zikirnya, serasa saya mendapat nikmat yang tiada tara.
Ups, ternyata tidak bertahan hingga akhir. Menjelang akhir, tepatnya saat doa, Langit beraksi lagi. Lā haula walā quwwata illā billāh.
“Sudah, saya mau ke kelas,” ujar Langit.
“Zikirnya sudah selesai?”
“Sudah.”
“Dari awal hingga akhir sudah semua?”
“Sudah.”
“Dari astagfirullah sampai dengan doa, sudah semua?”
“Doanya belum,”
“Nah, kalau begitu, sekarang baca doa dulu!”
Langit hanya diam. Ia tak berkata-kata apa pun. Ia juga tidak membaca doa. Diam. Saya menunggu aksinya. Tapi Langit hanya diam. Lama-kelamaan situasi berubah. Ya, Langit menangis. Saya terkejut. Mengapa menangis? Apanya yang harus ditangisi? Bukankah Langit anak cerdas? Ia sudah tahu masalahnya. Pun hanya membaca doa, apa beratnya? Saya berpikir. Bila saya keukeuh Langit harus baca doa dulu, saya perlu menunggui Langit hingga tuntas menangisnya. Itu saya yakini akan berdampak baik bagi Langit. Masalahnya, saya ada acara berikutnya yang mendesak. Tak bisa diwakilkan. Jika saya persilakan kembali ke kelas tanpa membaca doa dulu, saya khawatir berdampak negatif pada diri Langit. Saya timbang-timbang dua opsi itu.
Akhirnya muncul ide berbeda. Meminta bantuan Pak Aruf. Saya ke acara berikutnya. Pak Aruf saya minta menunggui Langit hingga tuntas menangisnya, lalu baca doa, baru kembali ke kelas.
Saya kirim pesan kepada Pak Aruf. Tak lama berselang, Pak Aruf tiba di musala. Saya beri penjelasan singkat. Lalu saya bergegas keluar musala.
Eh, ternyata baru beberapa saat, Pak Aruf sudah menyusul saya. Dan saya kaget ketika Pak Aruf menyampaikan, Langit sudah kembali ke ruang kelas dan belum membaca doa.
“Pak Aruf, yang saya khawatirkan, Langit memahami kenyataan tadi sebagai pelajaran yang kurang pas. Langit menganggap, gurunya dapat ditaklukkan dengan menangis, dapat ditaklukkan dengan ngambek. Kita sama-sama tahu, Langit itu anak cerdas. Bukankah tadi ia sudah menyadari kekeliruannya? Dan ternyata dengan menangis, ia tak perlu bertanggung jawab atas kekeliruan tersebut dengan tetap berdoa sebagaimana mestinya,” terang saya.
“Mohon maaf, Pak Kambali. Lha, ini baiknya gimana, Pak Kambali? Langit memang ngambek tadi.”
“Ya, sudah, gak pa-pa, Pak Aruf. Karena anaknya sudah telanjur masuk kelas, biar lanjut belajar di kelas saja. Namun, untuk Zuhur berikutnya, Langit tidak boleh ikut jemaah hingga ia membaca doa terlebih dahulu.”
Saya tidak boleh mempermalukan guru saya, tapi saya juga tidak bloeh mengorbankan murid saya. Keputusan di atas saya pandang dapat mengakomodasi keduanya. Guru saya dan murid saya. Kemudian saya melanjutkan acara saya.
Ups, menjelang pukul 14.00 (jam kepulangan murid kls 3), saya dikejutkan dengan kedatangan Langit. Ia masuk ke ruang saya. Ditemani Pak Aruf.
Langit mendekati saya. Ia bermaksud membaca doa setalah salat. Ia akan melakukannya di hadapan saya. Alhamdulillah, masyaallah, ini nikmat yang tiada tara. Dengan senang hati, saya persilakan Langit melakukannya. Saya dengarkan dengan saksama setiap lafal yang diucapkannya. Sempurna: Langit mampu melakukannya. Dengan mudah.
Ini benar-benar prestasi bagi Langit. Ia berhasil menaklukkan ngambek-nya. Kalau meraih juara perlombaan/pertandingan di tingkat kecamatan, kota, provinsi, bahkan hingga level nasional, atau sampai dengan level internasional, itu memang prestasi. Tapi itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan prestasi Langit Kamis itu: berhasil mengalahkan diri sendiri. Bukankah Rasulullah telah bersabda, musuh terberat kita adalah diri kita sendiri?
Selamat, Mas Langit! Ini capaian yang luar biasa. Saya sangat mengapresiasinya dan saya mendapat banyak inspirasi dari pengalaman ini.
Usai Langit keluar ruangan, saya sudah tidak sabar lagi. Saya sangat penasaran, jurus apa yang dipakai Pak Aruf hingga dapat meluluhkan Langit. Pak Aruf menjelaskannya dengan gamblang. Saya terkesima dengan penjelasan Pak Aruf. Ide Pak Aruf luar biasa. Saya sangat salut dengannya. Sekaligus tambahan ilmu bagi saya. Terima kasih, Pak Aruf. Semoga Allah jadikan ilmu Pak Aruf bermanfaat. (A1)
Baca juga: Pembuktian