Tiba-tiba saya penasaran. Mengapa kebiasaan baik itu terhenti? Hampir satu pekan.
Saya harus berpikir jernih dan jujur. Apa adanya. Itu kalau saya ingin mendapatkan jawaban yang tepat dan valid. Tidak sekadar pemanis bibir. Apalagi hanya sekadar untuk membela diri. Na’ūżubillāh.
Jawaban tepat dapat memberi kemudahan saya dalam tindak lanjut: memperbaiki diri saya sendiri. Sebaliknya, jawaban pemanis hanya akan memperlambat langkah perbaikan. Terserah diri saya sendiri: pilih yang mana.
Baca juga: Tak Mau rugi
Kebiasaan baik yang saya maksud: baca buku tiap hari. Ya, hampir satu pekan saya tidak membaca buku. Sebelum itu (dua tahun terakhir ini), alhamdulillah, saya dimudahkan selalu membaca buku. Setiap hari. Memang secara kuantitas tidak banyak, sih. Rata-rata tiga hingga empat halaman tiap harinya. Namun, saya patut bersyukur. Sebagai pemula, capaian itu sudah sangat membahagiakan saya. Lagi pula, saya memang tidak menargetkan kuantitas. Saya lebih menekankan pemahaman.
Kok bisa terhenti?
Itulah yang sedang saya cari tahu.
Buku terakhir yang saya baca: Tafsir Al Azhar Juzu’ VIII. Ditulis oleh Prof. Dr. Hamka. Diterbitkan PT Pustaka Panjimas. Tahun 1984. Saya belum selesai membacanya. Baru sampai halaman 34 dan terhenti. Padahal, buku itu memuat 299 halaman.
Ups, ya, saya teringat.
Di halaman 34 saya temukan kalimat ini, “Kalau manusia hidup di dunia ini hanya semata-mata memikirkan isi perut, memenuhi syahwat, samalah artinya dengan mati.”
Saya terpana membacanya. Orang hidup kok disamakan mati? Mengapa? Saya membacanya berulang-ulang. Termasuk memulai lagi dari beberapa paragraf sebelumnya. Saya masih gagal memahaminya. Saya coba lanjutkan membacanya hingga akhir paragraf, bahkan saya tambahi beberapa paragraf sesudahnya. Namun, saya masih gagal paham.
Saya kembali ke kalimat itu. Saya baca ulang. Dengan lebih perlahan. Ada kata syahwat. Saya lihat KBBI. Arti syahwat di KBBI membuat saya tidak puas. Masa, hanya diartikan begitu? Pikiran saya otomatis tidak terima. Saya perlu cari pembanding.
Kata itu muncul juga di Al-Qur’an. Setidaknya di surah Ali Imran. Saya cari ayat ke berapa. Pakai aplikasi Google di HP. Dapat. Ternyata ayat 14.
Sekarang saatnya melihat Tafsir Al-Mishbāh Volume II karya M. Quraish Shihab. Buku ini diterbitkan oleh Lentera Hati. Tahun 2002. Di halaman 25 saya dapatkan ini, “Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat indrawi, material.”
Di Tafsir Jalalain, lain lagi. Tafsir ini cukup ringkas. Sangat populer di kalangan pesantren. Dikarang oleh dua ulama. Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti. Dalam tafsir ini, syahwat pada surah Ali Imran ayat 14 dimaknai “sesuatu yang diingini nafsu”.
Ups, masyaallah ….
Pernyataan Prof. Hamka di halaman 34 itu ternyata membuat saya membuka beberapa referensi lain. Saya begitu menikmati proses itu. Dan di hari berikutnya, saya masih terpana dengan pernyataan itu. Hingga ketika hendak melanjutkan membaca halaman berikutnya, rasanya saya masih ingin menginternalisasi pernyataan itu. Maka, setelah mengulang membaca kalimat itu, saya tutup bukunya. Saya coba renungkan. Termasuk melihat keseharian yang ada pada diri saya. Apakah saya termasuk kategori “manusia hidup yang seperti orang mati”? Demikian pula hari berikutnya. Dan terus berlanjut hingga hampir satu pekan.
Tapi betulkah tiap hari selama hampir satu pekan tersebut saya selalu berproses dengan “manusia hidup yang seperti orang mati” itu? Sejujurnya tidak. Saya akui dua, tiga hari pertama memang demikian. Namun, setelah itu, tidak lagi.
Lalu ngapain? Malas. Mungkin itu jawaban aslinya. Meski terbungkus dengan kesibukan lainnya. Dan pintu masuknya: internalisasi pernyataan “manusia hidup yang seperti orang mati”. Setiap ada tuntutan diri untuk melanjutkan bacaan, pintu masuk itu cukup ampuh membatalkannya.
Jumat (23/08/2024) pukul 03.00 dini hari, saya membaca ulang pernyataan Prof. Hamka itu. Saat itu muncul ide menuliskannya. Saya lakukan. Usai menulis, ada dorongan untuk melanjutkan membaca halaman selanjutnya. Alhamdulillah, mulai Jumat itu, saya dapat melanjutkan kembali kebiasaan membaca.
Saya memang sedang berikhtiar. Untuk diri sendiri. Memenuhi salah satu standar mutu lulusan SD Islam Hidayatullah 02: literat. Salah satu indikatornya, gemar membaca. Dengan mempraktikkan pada diri sendiri, saya meyakini akan mudah untuk ditularkan kepada yang lain. Guru-guru dan lalu berimbas kepada murid-murid. Semoga. (A1)
Baca juga: Etos Profetik