Lantunan doa sesudah wudu sudah terdengar. Pertanda tujuh anak—“kloter” wudu pertama—telah selesai berwudu. Terdengar ketukan pintu. Aqilaa mengucapkan salam. Diikuti teman-temannya. Sembari menjawab salam, saya menyiapkan audio. Hardware dan software-nya. Pengeras suara kelas saya hidupkan. Tak lupa menyiapkan fail audio Asmaulhusna. Sementara, murid-murid mengambil lembaran berlaminasi berisi nazam Asmaulhusna.
Beberapa waktu lalu, saya sempat kehilangan suara. Kala itu, Bu Eva sedang izin sakit. Mendampingi pembiasaan merupakan salah satu tantangan terberat di awal kelas 1. Sejak doa pagi, tahfiz, niat wudu, pelaksanaan wudu, doa sesudah wudu, pembacaan Asmaulhusna, hingga bacaan salat Duha, guru harus bersuara lantang agar anak-anak dapat mengikuti dan menghafalkan.
Berbekal pengalaman itu, saya mencari cara agar pembiasaan tetap berjalan efektif dan efisien. Ada beberapa ide yang tebersit dan tereksekusi. Salah satunya adalah dengan meminta bantuan Bapak Ibu Guru merekam nazam Asmaulhusna bersama-sama. Rekaman itu saya putar setiap hari setelah anak-anak selesai berwudu menjelang salat Duha.
Aqilaa dan teman-temannya turut melantunkan Asmaulhusna mengikuti audio yang diputar. “Kloter” wudu kedua mulai berdatangan. Mereka pun melakukan rutinitas seperti teman-teman mereka sebelumnya.
“Bu, tadi Radit menyipratkan air ke arah saya,” lapor Ano.
“Benar begitu, Mas Radit?” selisik saya kepada Radit.
Rupanya, Radit sudah berlinang air mata. Ia menangis sejak sebelum masuk kelas.
“Mas Ano, masalahnya kita selesaikan nanti setelah salat, ya. Mas Radit biar tenang dulu.”
Ano mengangguk. “Iya, Bu,” timpalnya.
“Mas Radit, tidak perlu menangis. Sekarang, Radit persiapkan diri untuk salat, ya,” bujuk saya.
Semua murid telah masuk kelas. Salat Duha dimulai. Radit masih saja menangis. Hingga rakaat pertama usai, tangisnya belum juga reda. Beberapa kali ia meminta izin mengambil tisu untuk mengelap air matanya. Kali kesekian, Radit pun menyerah. Ia memilih untuk menepi sejenak. Radit duduk di buk depan ruang TU.
Seusai salat Duha, saya hampiri Radit. Tangisnya sudah reda.
“Mas Radit, masuk, yuk!” ajak saya dari ambang pintu kelas.
Saya sempat pesimistis. Syukurlah, Radit beranjak dari tempat ia duduk. Dia pun mengekor di belakang saya.
“Bu, tadi Radit …,” ucap Ano sambil mengangkat tangan.
“Mas Ano, tadi, kan, Mas Ano sudah bilang,” potong saya. “Tidak perlu bilang lagi, ya. Nanti Mas Radit tambah sedih.”
“Iya, Bu.” Ano menurut.
“Mas Ano, Mas Radit sudah menyadari kesalahannya. Mas Radit menyesal sampai dia menangis. Mas Ano bersedia memaafkan Mas Radit?”
“Iya, Bu.”
“Oke. Sekarang Mas Ano dan Mas Radit saling bermaafan, ya.”
Radit dan Ano saling berjabat tangan. Berbonus senyum dari keduanya.
“Kalau begini, kan, enak. Kelas kita jadi happy. Enggak ada yang sedih-sedih.”
Senyum Radit kembai merekah. Diikuti sorak-sorai teman-temannya. Suasana kelas menjadi kian ceria.
Sesederhana itu menyelesaikan masalah di antara keduanya. Namun, fase yang harus dilalui tidaklah instan dan kilat. Butuh waktu, pemahaman, dan pengendalian diri. Ketiganya tak bisa dipaksakan. Anak perlu belajar berproses.
Pelajaran kembali dilanjutkan hingga waktu istirahat kedua tiba.
Saya kembali ke kursi kerja saya. Radit mendekat.
“Bu, Radit mau salat Duha,” pinta Radit.
Saya sempat kaget. Tertegun sejenak. “Masyaallah. Terima kasih, Radit. Bu Guru sudah diingatkan,” batin saya.
Saya mengiakan permintaan Radit. Saat teman-temannya asyik menyantap hidangan dan bermain, Radit memilih untuk menjalankan kewajibannya yang sempat tertunda. Radit mengikuti aba-aba saya. Ia pun tuntas mengerjakan salat Duha hari itu.
Terima kasih, Radit! (A2)