“Latihan apa enggak, Pak Kambali?”

Pertanyaan Rama mengejutkan saya. Begitu tiba di Sekolah, saya langsung menuju rak sepatu/sandal. Saya hendak menaruh alas kaki yang saya pakai. Namun, belum sempat menaruh alas kaki, saya sudah dicegat Rama dan ditanya.

Saya berusaha memasang raut muka wajar. Saya tidak ingin Rama melihat kekagetan saya. Setelah itu saya baru berpikir: apa konteks pertanyaan Rama. Ups, ya, saya paham.

Beberapa hari sebelumnya, saya meminta Rama untuk latihan azan. Dilakukan setelah rangkaian jemaah Zuhur usai. Biasanya, saya yang menjadi imam. Begitu anak-anak dipersilakan kembali ke kelas, dua anak kelas 2—Rama dan Tristan—saya tahan. Keduanya saya minta berlatih azan. Dibimbing oleh kakak kelasnya. Kadang Mas Itaf, kadang Mas Haqqi, pernah juga Mas Naufal serta Mas Langit. Saya ikut mendampingi. Bila kakak kelas sudah cukup yakin, Rama atau Tristan saya minta untuk mengulang kembali. Dengan penyimak yang berbeda. Sayalah yang menyimak. Jika saya pandang belum lancar, besoknya saya minta untuk diulang kembali. Disimak kembali oleh kakak kelasnya.

Jadi, Rama hendak melanjutkan latihan azan. Saya melirik ke musala. Memastikan siapa imamnya. Siang itu Pak Adhit yang menjadi imam. Saya ingin tidak menyelisihi keputusan yang sudah ditetapkan Pak Adhit. Maka, saya jawab, “Manut Pak Adhit, Ram.”

“Tadi Ustaz Adhit sudah saya tanya. Katanya, gak tahu,” sahut Rama.

“Oh, gitu? Rama pengin latihan azan?” tegas saya.

“Kemarin Pak Kambali bilang, hari ini latihan azan.”

Masyaallah! Saya tertegun sejenak. Saya teringat betul sikap Rama saat pertama kali saya minta berlatih azan. Raut mukanya berubah. Lalu ia berseloroh pelan, “Kan, ini waktunya makan! Ngapain harus azan?” Hampir saja saya luluh. Saya tidak tega. Tetapi saya belum bisa mengabaikan fakta ini. Hanya Rama dan Tristan—di antara murid putra kelas 2 dan kelas 3—yang belum pernah azan saat jemaah Zuhur di Sekolah.  Itu sejak keduanya kelas 1. Berarti, sudah setahun lebih. Tegakah saya membiarkan kenyataan itu? Akhirnya, Rama saya paksa untuk latihan azan. Itu pada kali pertama saya minta latihan azan.

Baca juga: Azan

Belum genap satu pekan, ternyata Rama justru sangat bersemangat. Bahkan, saya ditagihnya untuk latihan azan. Bukankah ini peluang yang luar bisa besarnya? Saya tidak boleh menyia-nyiakannya. Walau saya belum makan siang, saya harus berusaha mengimbangi semangat Rama. Saya pun segera menimpali Rama, “Oh, iya, ya? Baik, sekarang latihan azan. Tristan diajak, ya!”

“Ya, Pak. Di mana, Pak?”

“Di ruang Pak Kambali saja, ya.”

Rama bergegas mencari Tristan. Saya segera menaruh alas kaki. Lalu berjalan menuju ruangan. Tak berselang lama, Rama dan Tristan sudah berjalan mengiringi saya.

“Kok Pak Kambali tidak jadi imam?” tanya Tristan.

“Oh, maaf. Hari ini Pak Kambali ada rapat di kantor dekat TK. Selesainya zuhur. Jadi, Pak Kambali jemaah Zuhur di TK,” terang saya.

“Kalau Pak Kambali jadi imam, kan latihannya di musala.”

“Di ruang Pak Kambali juga bisa dipakai untuk latihan azan.”

“Saya tinggal sedikit lagi, bisa,” lapor Tristan.

“Oh, ya? Beneran?

“Iya, Pak. Yang masih sering salah, ḥayya ‘alā al-ṣalāh.”

“Alhamdulillah, nanti pas Tristan melafalkan, kita dengar bareng-bareng.”

 Tiba di ruangan, saya duduk lesehan. Diikuti Rama dan Tristan. Posisi seperti itu membuat saya lebih nyaman mendengarkan pelafalan Rama dan Tristan.

“Sekarang, siapa dulu yang mau mencoba?”

“Saya, Pak,” sahut Rama.

“Baik. Silakan, Mas Rama.”

Rama mulai melafalkan azan. Dari awal hingga akhir. Lancar. Tak ada kesalahan. Urutan sudah benar. Banyaknya pengulangan sudah sesuai. Bacaan pun tak ada yang keliru.

“Wow, Mas Rama sudah bisa! Hebat!” puji saya.

Rama tersipu. Saya merasa lega. Akhirnya, Rama berhasil menunjukkan pada dirinya sendiri, ia bisa azan. Sebetulnya masih ada satu PR lagi: level suara Rama saat azan perlu ditingkatkan. Saat itu, terlalu lirih. Namun, saya pandang, itu belum prioritas. Rama harus menyadari dulu bahwa ia bisa azan. Insyaallah pertemuan berikutnya baru mulai ngopeni level suara.

“Sekarang, ganti Mas Tristan. Silakan!”

Tristan mulai melafalkan. Saya menyimaknya. Level suara Tristan jauh lebih baik dibanding Rama. Namun, benar apa yang dilaporkan Tristan sebelumnya. Lafaz ḥayya ‘alā al-ṣalāh ia ulang hingga tiga kali. Rama—yang ikut menyimak—pun segera mengingatkan dan mengajari Tristan.

Alhamdulillah, saya sangat bersyukur. Rama dan Tristan ternyata jauh lebih hebat dibanding saya. Dalam hal mempertahankan semangat. Andai Rama tidak menagih saya siang itu, saya tidak berencana mengajak keduanya latihan azan. Terima kasih, Rama, Tristan. Semoga Allah melimpahkan kebaikan dan hidayah untuk kalian berdua. Juga orang-orang di sekitar kalian. (A1)

Baca juga: Patut Diperhitungkan

Bagikan:
Scan the code