Hampir saja lupa. Hari ini bel tidak bisa berbunyi akibat listrik padam. Murid-murid masih menikmati waktu istirahat mereka. Dua menit sebelum waktunya masuk kelas, saya minta murid-murid bersiap wudu. Dengan sigap, murid-murid melipat lengan baju dan celana. Pekan ketiga mengikuti pembiasaan di Sekolah, murid-murid semakin lincah melipat lengan baju mereka. Tinggal beberapa anak saja yang masih butuh bantuan.

Setiap Jumat, Ustaz Adhit tidak dapat mendampingi rangkaian wudu dan Duha kelas 1. Beliau mengajar BAQ kelas 2. Selain hari Jumat, kelas 1 didampingi oleh empat orang guru. Saya, Bu Eva, Pak Kukuh, dan Ustaz Adhit.

Bu Eva bersama Ustaz Adhit mendampingi dan membimbing wudu murid-murid. Pak Kukuh bertugas sebagai pengendali siswa yang tengah mengantre wudu, sekaligus membimbing doa sesudah wudu. Saya mendapat bagian mengawal murid-murid yang sudah kembali ke kelas setelah selesai wudu.

Rupanya, masih ada satu anak yang butuh penguatan. Amira belum merapikan barang-barangnya. Kotak bekal dan buku-bukunya masih bertengger di atas meja. Saya menunda rutinitas menyusul anak-anak ke tempat wudu.

“Mbak Amira, barang-barangnya dirapikan dulu, ya.”

Amira tampak enggan. Namun, ia mengerjakan apa yang saya minta. Setelah merapikan mejanya, Amira lalu melipat lengan bajunya. Butuh waktu cukup lama bagi Amira. Saya menahan diri untuk memberikan bantuan seminim mungkin.

“Bu Wiwik bantu lipat satu kali, selanjutnya Amira kerjakan sendiri, ya.”

Selesai melipat lengan baju, saya dan Amira “tos”. Gadis kecil itu lantas menyusul teman-temannya di tempat wudu. Saya mengekor di belakang Amira.

“Kloter” wudu pertama hampir menyelesaikan doa sesudah wudu. “Kloter” kedua sedang wudu bersama Bu Eva. “Kloter” ketiga dan keempat masih duduk mengantre.

Pintu kamar mandi terbuka. Saya segera masuk ke salah satu biliknya.

“Duh, terlambat, nih,” batin saya.

Benar saja. “Kloter” wudu pertama sudah tak tampak di area wudu. Mereka pasti sudah masuk kelas. Saya bergegas menuju kelas. Di tengah perjalanan, saya berpapasan dengan beberapa murid kelas 3. Mereka juga hendak berwudu.

“Mas Ken, Mas Haqqi, ulangi!” komando saya begitu mendapati keduanya lari di selasar.

Ken dan Haqqi tersenyum, menyadari kekeliruan mereka, berbalik menuju kelas, dan mengulang berjalan menuju tempat wudu.

Saya mengetuk pintu kelas 1 dan mengucap salam.

“Masyaallah!”

Sejenak saya tertegun menyaksikan apa yang saya dapati di kelas. Tujuh anak duduk rapi di karpet. Enam anak di antaranya memegang lembar asmaulhusna. Ketujuh anak tersebut melantunkan asmaulhusna atas inisiatif mereka sendiri.

Peristiwa ini mematahkan pesimisme saya. Selama hampir tiga pekan membersamai mereka, saya sempat ragu. Cukupkah pembiasaan selama satu bulan untuk mematri prosedur rutin dalam perilaku anak-anak? Nyatanya, belum genap sebulan, anak-anak tangguh ini sudah berhasil membuktikan.

Saya mengambil target sebulan berdasarkan pengalaman pada dua tahun belakangan. Saat itu, pembiasaan mulai tampak terinternalisasi oleh anak-anak setelah sebulan dibiasakan.

Terima kasih, Azka, Rafka, Sofie, Gaby, Kirana, Salma, dan Reva!

Terima kasih juga, Amira. Mungkin, jika bukan karenamu, gurumu ini masih tetap pada pesimismenya. Ternyata, di balik ketidaksengajaan, ada hikmah manis yang tersingkap dan patut disyukuri.

Bagikan:
2 thoughts on “Pesimisme”
  1. masyaallah, semoga kita semua selalu diberi kemudahan dalam mengajarkan kebiasaan-kebiasaan baik yang akan ditanamkan

Comments are closed.

Scan the code