Bu Diana (kedua dari kanan) bersama ibu-ibu peserta Mengaji di QLC Hidayatullah

Nunggu ngaji, Bu? Gurunya belum rawuh atau pripun?”

“Enggak, Pak. Saya aja yang datang terlalu gasik. Terjadwal jam sepuluh, kok, Pak.”

Saat keluar ruangan, saya dapati Bu Diana sendirian. Duduk di buk depan ruang kepala sekolah. Waktu itu masih sekitar pukul 09.00. Saya ikut duduk di buk. Tidak jauh dari beliau. Maksud hati: ingin menyapa dan mengobrol. Sudah lama saya tidak ngobrol dengan beliau. Jika bertemu, biasanya hanya bertegur sapa sekadarnya, lalu masing-masing melanjutkan aktivitasnya. Nah, mumpung Bu Diana sedang menunggu dan durasinya cukup lama, saya kira ini kesempatan baik.

Baca juga: Nilai Nol

Bu Diana ikut kegiatan mengaji. Di QLC (Qur’an Learning Center) Hidayatullah. Sudah sekitar 3 tahun ini, QLC menggunakan ruangan di SDIH 02. Jadwalnya dibuat sedemikian rupa, tidak tumbukan dengan jadwal mengaji murid-murid SDIH 02. Dalam sepekan, hanya satu hari yang tidak ada kegiatan mengaji QLC: Rabu. Praktis, saya sering melihat ibu-ibu peserta mengaji, termasuk Bu Diana.

“Sekarang Dora di mana, Bu?”

“Dora di Undip, Pak Kambali.”

“Alhamdulillah. Berarti malah deket dan tinggal di rumah, Bu?”

“Iya, Pak, deket. Masih kumpul satu rumah.”

“Ambil jurusan napa, Bu?”

“Psikologi, Pak.”

“Semester pinten niki?”

“Semester dua.”

“Alhamdulillah. Gimana, bisa ngikuti, Bu?”

“Masyaallah, Pak Kambali. Masih ingat waktu itu, enggak, Pak?”

“Yang apa, Bu?”

“Saat itu, pas terima rapor. Saya bilang ke Pak Kambali gini, ‘Pak Kambali, Dora kok anaknya tidak PD, ya.’ Pak Kambali masih ingat jawaban Pak Kambali waktu itu?”

“He-he, saya jawab gimana waktu itu, Bu?”

“Pak Kambali saat itu bilang gini, ‘iya, Bu. Di-doa-in aja, Bu.’ Sekarang ini, Pak, anaknya, masyaallah!”

Lha, gimana, Bu?”

“Dora itu sekarang aktifnya, masyaallah, Pak. Hampir semua kegiatan kampus diikutinya.”

“O, ya?”

“Tak hanya itu, Pak. Kalau liburan, kayak enggak punya waktu libur. Jelang libur itu sudah pamit, mau ikut lomba inilah, lomba itulah.”

“Masyaallah, saya enggak bisa membayangkannya, Bu.”

“Pokoknya padat sekali, Pak. Anaknya sekarang PD luar biasa.”

“Alhamdulillah, itu berarti doa Ibu betul-betul mustajabah.”

“Saya jadi ingat jawaban Pak Kambali waktu itu. Dan ini, Pak. Waktu di SMA, anaknya dapat rangking paralel terus.”

“O, ya? Di mana SMA-nya, Bu?”

“Di SMA Islam Hidayatullah, Pak.”

“Alhamdulillah. Wah, kalau itu jenengan pasti sungguh-sungguh tirakatnya. Napa, Bu, tirakat panjenengan?”

“Enggak, Pak. Saya enggak tirakat apa-apa. Anaknya saja yang sungguh-sungguh.”

“Alhamdulillah. Yang jelas, tentang doa itu, saya cuma meyakini dan menyampaikan hadis Rasulullah saja, sih, Bu.”

Ya, sekitar 9 tahun lalu, tepatnya di tahun ajaran 2014/2015, saya memang ditugasi sebagai guru kelas. Di kelas 4C, SD Islam Hidayatullah. Dora adalah salah satu murid kelas 4C. Yang terkesan oleh saya, Dora itu tampak seperti anak yang minder. Tapi ia pintar dan senang bahasa Jepang. Kok bisa? Ternyata Dora pernah tinggal di Jepang. Saat ayahnya bersekolah di sana.

Pertemuan dengan Bu Diana Selasa (14/05/2024) itu membuat saya terpana. Sekaligus makin menguatkan hati dan pikiran saya. Bahwa doa benar-benar senjata ampuh. Saya pernah membaca hadis. Yang menyebutkan, salah satu doa mustajabah yaitu doa orang tua kepada anakanya. Namun, belajar dari pengalaman Bu Diana, tetaplah perlu dibarengi kesungguhan dan kesabaran.

Saya juga ikut terkejut mendengar cerita Bu Diana. Tak terbayang oleh saya, bagaimana Dora bisa menjadi seperti sekarang ini. Tapi itu kenyataan yang tak terbantahkan. 

Memang bagi Allah tidaklah sulit mengubah malam menjadi siang. Siang menjadi malam. Tanah subur menjadi tandus. Tanah tandus menjadi subur. Kematian menjadi kehidupan. Dan seterusnya. 

Hari itu saya dapat pelajaran berharga dari pengalaman Bu Diana: doa, sabar, dan kesungguhan. Terima kasih, Bu Diana. (A1)

Baca juga: Doa Ibu

Bagikan:
11 thoughts on “Setelah Sekian Tahun”

Comments are closed.

Scan the code