Sultan berjalan di selasar kelas dengan santai. Lengan baju belum digulung. Celana juga belum digulung. Tetapi arahnya jelas menuju ke tempat wudu. Sultan tahu bahwa saat itu adalah waktunya salat Duha. Teman-teman sudah berada di tempat wudu. Ada yang sedang melaksanakan wudu. Namun, yang menunggu juga masih banyak.
Melihat Sultan tidak segera wudu, Bu Amik mengingatkan.
“Ayo, Mas Sultan, segera wudu. Airnya sudah ngalir!”
“Sebentar. Sultan menunggu Kakak Nadia.”
Saat itulah kesempatan untuk “mendorong” Sultan agar segera melakukan kegiatan yang semestinya. Bu Amik menghampiri Nadia.
“Kakak Nadia, tolong Adik Sultan diajak wudu, ya!” kata Bu Amik seolah memosisikan Sultan sebagai adik Nadia.
“Iya, Bu,” jawab Nadia sambil senyum, hingga terlihat lesung pipitnya.
“Sultan, lengan bajunya digulung dulu, ya!” kata Nadia sambil meraih lengan baju Sultan dan menggulungnya. “Celana, Sultan sendiri yang menggulung, ya,” lanjut Nadia.
Setelah lengan baju dan celana tergulung, Nadia menuju ke keran. Sultan pun mengikuti. Sultan memilih keran di sebelah Nadia. Nadia membuka keran, Sultan pun membuka. Sultan memperhatikan Nadia. Mulai dari mencuci tangan, kumur-kumur, mencuci hidung. Bersamaan itu Sultan pun melakukan hal yang sama, sambil sesekali melihat Nadia berwudu.
Selesai wudu mereka berjalan bersama menuju kelas. Kemudian melaksanakan salat Duha.
Pun menjelang salat Zuhur, Sultan masih membutuhkan sosok kakak. Seperti biasa, sebelum wudu anak-anak rapi-rapian. Yang paling rapi itulah yang dipilih untuk keluar dulu menuju tempat wudu. Namun, diawali dengan tepuk wudu.
Kelompok Nadia terpilih yang pertama karena barisannya paling tertib. Sultan meminta Nadia untuk menunggunya.
“Kakak Nadia, tunggu Sultan!” kata Sultan dengan nada agak berteriak. Seolah takut kalau ia ditinggal.
Sesampai di tempat wudu, yang dilakukan Sultan sama seperti sebelumnya. Ia wudu dengan mencontoh Nadia. Nadia pun dengan senang hati memperlakukan Sultan sebagai adik.
***
Di waktu yang berbeda, Sultan melafalkan ayat pertama Surat Al-Insyiqaq.
“Iżas-samā’un syaqqat,” ucap Sultan sambil jalan-jalan.
Tidak berapa lama Nadia teriak memperingatkan, “Sultan! Itu ayat Al-Qur’an, jangan untuk main-main!”
Nadia tahu, bahwa Sultan melafalkan ayat itu tidak sungguh-sungguh untuk murajaah, tetapi untuk bercanda.
Bahkan ketika perilaku Sultan dipandang kurang baik, Nadia sering mengingatkan.
Sultan betul-betul membutuhkan sosok kakak yang bisa menjadi panutan atau model untuk dia tiru. Nadia tepat untuk itu bagi Sultan. Apalagi Nadia sendiri di rumah sebagai kakak bagi dua adik. Nadia pun tidak keberatan dianggap kakak, meski hanya kakak bayangan.