Pagi itu, Kepala Sekolah memutuskan bahwa seluruh siswa dan Bapak Ibu Guru SDIH 02 mengikuti khatmul-Qur’an di musala. Keputusan tersebut akan berdampak terhadap jadwal KBM hari itu. Namun, sudah diyakini, keputusan Kepala Sekolah bukanlah keputusan yang seketika. Keputusan yang matang dan sudah dipertimbangkan dari berbagai sudut pandang. Tepat pukul 06.32, Bu Wiwik menyampaikan sarannya di grup WhatsApp Sekolah: sebaiknya sebelum baris, siswa menyiapkan botol minumnya di meja luar kelas, sehingga memudahkan dan mempercepat ke musala.
Saran dari Bu Wiwik juga diterapkan oleh siswa kelas 2. Semua siswa tampak membawa botol minum dan berjalan menuju musala. Namun, ada satu siswa yang tampaknya lupa atau belum memahami apa yang disampaikan Bapak Ibu Guru. Rendra namanya.
Iya, Rendra ini terlihat gugup ketika menyadari bahwa hanya dirinyalah satu-satunya yang tidak membawa botol minum. Persis di depan musala, Rendra bersegera kembali ke kelas untuk mengambil botolnya. Namun, Rendra berlari tanpa alas kaki. Entah karena kebingungan sehingga dia spontan ingin segera ke kelas atau merasa tidak ada Bapak Ibu Guru yang melihat, sehingga dia leluasa melakukannya. Padahal persis di kanannya ada Bu Layla, yang sedang memperhatikannya.
“Mas Rendra …,” panggil Bu Layla.
“Iya, Ustazah,” jawab Rendra.
“Apakah benar, Mas Rendra tadi berlari ke kelas tanpa alas kaki?” tanya Bu Layla.
“Iya,” jawab Rendra dengan murung.
“Mas Rendra, tolong diulangi, ya, jalannya. Dari musala ke kelas, lalu ke musala lagi dengan memakai alas kaki,” pinta Bu Layla.
“Aku bingung, suruh ngapain lagi,” gerutu Rendra dengan suara rendah, pertanda air matanya segera tumpah.
Bu Layla menduga, kebingungan Rendra merupakan bentuk alibi supaya diizinkan tidak memenuhi permintaan Bu Layla. Ternyata keliru, dugaan Bu Layla terpatahkan oleh kenyataan. Rendra memenuhi permintaan Bu Layla. Namun, ia melakukannya sambil menangis disertai menghentak-hentakkan kakinya. Sehingga cukup mengganggu kekhusyukan doa pagi yang dilantunkan para siswa di musala.
Bu Layla mendekati Rendra seraya berkata, “Mas Rendra, kenapa menangis? Apa mas Rendra sedang sedih?”
Rendra tidak menjawab, justru tangisannya makin kencang.
“Ya sudah, jika Mas Rendra mau menangis dulu, boleh kok. Tapi, sebaiknya suara tangisan Rendra dikurangi, ya, levelnya. Kalau bisa, level 0 deh. Agar teman-teman yang di musala tidak merasa terganggu,” pinta Bu Layla.
Rendra menganggukkan kepalanya, tanda mengiakan permintaan Bu Layla. Lalu, Rendra dibiarkan oleh Bu Layla duduk sendiri di depan musala.
(Lagi-lagi), Bu Layla menduga Rendra akan banyak menghabiskan waktunya untuk menangis di depan musala. Namun (lagi-lagi), dugaan Bu Layla terpatahkan kembali. Selang beberapa menit, Rendra masuk ke musala. Artinya, ia siap mengikuti khatmul-Qur’an.
Alhamdulillah …. Bu Layla lega, melihat Rendra sudah mampu menenangkan diri dan menyadari bahwa tangisannya akan mengganggu teman lain jika makin kencang suaranya. Rendra duduk persis di depan Bu Layla tanpa segan, tanpa pandangan kebencian bahkan kekecewaan. Itulah anak-anak. Sangat polos, lugu, dan tanpa dosa. Andaikan Rendra itu orang dewasa, sikapnya kepada Bu Layla belum tentu demikian.
Siapa yang mampu memoles anak-anak? Ya siapa saja. Bapak Ibu Guru, teman-teman di sekolah, orang tua di rumah, atau bahkan lingkungan mereka bergaul. Itu sebuah keputusan.
Pagi itu penuh keputusan. Kepala Sekolah memutuskan agar warga SDIH 02 mengikuti khatmul-Qur’an yang diadakan secara rutin oleh LPI. Bu Layla memutuskan agar Rendra mengulangi dengan benar cara jalannya yang tanpa alas kaki. Dan memutuskan untuk beropini “praduga bersalah” terhadap Rendra. Lalu, Rendra konsekuen atas perbuatannya, yaitu mau mengulangi secara benar jalannya dengan memakai alas kaki, dan memutuskan untuk menyelesaikan rasa sedihnya dengan menangis sehingga ia terlambat masuk ke musala.
Keputusan dan konsekuensi. Dua hal yang bersahabat. Keduanya bentuk kausalitas. Iya, karena pengejawantahan sebuah sebab akibat. Begitu juga dunia dan akhirat. Wallāhu aʻlamu biṣ-ṣawāb..
[…] Rendra, salah satu murid yang dirasakan perubahannya. Baca juga di keputusan. […]
masyaallah mas rendra sudah mulai bisa mengendalikan diri dengan tidak berlebihan saat menangis, mas rendra terus berproses lebih baik lagi ya
Alhamdulillah,
Rendra sudah makin dewasa & terus berproses. Semoga menjadi anak yang saleh, menjadi generasi khoiru ummah.