Jumat pagi ini (19/01/2024) tidak seperti biasanya. Setelah berbaris, murid-murid masuk ke musala. Doa dan tahfiz pagi dilaksanakan di sana. Beberapa murid penasaran. Mereka lantas bertanya kepada gurunya. Sang guru hanya tersenyum, sembari menjawab pendek, “Nanti setelah berdoa akan dijelaskan.”

As-salāmu’alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh,” sapa Bu Wiwik.

Wa’alaikumussalām wa raḥmatullāhi wa barakātuh,” jawab murid-murid.

“Mas Daffa, Mas Raffa, dan Mas Rama belum menjawab salam. Bu Wiwik ulang, ah!”

Ketiga anak yang disebut namanya tersentak. Mereka membetulkan posisi duduknya.

As-salāmu’alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh,” ulang Bu Wiwik.

Wa’alaikumussalām wa raḥmatullāhi wa barakātuh,” jawab murid-murid serentak.

“Anak-Anak, adakah yang tahu mengapa pagi ini kita berkumpul di sini?” tanya Bu Wiwik.

“Khataman!” seru beberapa murid.

“Iya betul! Lalu, siapa yang tahu khataman itu apa?”

“Al-Qur’an!” jawab seorang murid.

“Membaca Al-Qur’an!” jawab murid lain melengkapai.

“Membaca Al-Qur’an sampai selesai,” timpal Langit.

“Iya, Anak-Anak benar. Khatam Al-Qur’an itu membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir. Dari Al-Fatihah sampai An-Nas. Jadi ceritanya, Bapak Ibu Guru di LPI Hidayatullah itu sudah selesai membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir. Nah, sekarang kita diajak untuk ikut khataman. Nanti, kita berdoa bersama, membaca asmaulhusna, dan membaca beberapa surah pendek. Jadi, menurut Anak-Anak, majelis ini majelis yang bagaimana?”

“Mulia!” seru Ridho.

“Iya, benar sekali Mas Ridho. Karena ini adalah majelis yang mulia, maka kita harus menghargainya. Dengan cara …?”

“Tertib! Menjaga diri! Tidak boleh ngobrol! Ikut berdoa!” jawab murid-murid.

“Alhamdulillah. Anak-Anak sudah paham. Bapak Ibu Guru berharap, Anak-Anak bisa menjaga diri. Kalian beruntung dipilih oleh Allah untuk berada di majelis yang mulia ini,” pungkas Bu Wiwik.

Khataman dimulai. Ustaz Aris memimpin rangkaian kegiatan. Murid putra dan putri duduk berbanjar masing-masing dua baris. Mereka menghadap ke arah barat. Di arah berlawanan, ada Ustaz Adhit, Ustaz Aris, dan Pak Kambali. Ada dua mikrofon disiapkan. Salah satunya dipegang Ustaz Aris. Mikrofon yang lain belum bertuan. Tergeletak di meja Ustaz Adhit.

Sepuluh menit pertama, murid-murid masih tenang. Mereka turut melantunkan bacaan yang mereka bisa. Beberapa menit kemudian, suasana mulai agak riuh. Bu Wiwik beranjak dari tempat duduknya. Ia memilih duduk di baris pertama, antara Mika dan Vano.

Suasana makin riuh. Murid-murid mulai menampakkan kebosanan. Ada yang mengobrol. Ada yang bermain. Ada pula yang bergumam sendiri. Beberapa kali terdengar suara “stttt” dari guru untuk menenangkan murid-murid yang berada di dekatnya.

Bu Wiwik tak ingin membiarkan ini berlarut. Ia melirik ke arah Mika.

“Mas Mika hebat. Sejak tadi khusyuk,” bisik Bu Wiwik sembari mengacungkan ibu jarinya ke arah Mika.

Mika tersenyum.

“Mas Mika mau pakai mikrofon?”

Ustaz Aris (tengah) memimpin khataman, diapit Pak Kambali (kanan) dan Ustaz Adhit (kiri)

Mika mengangguk. Binar matanya menyiratkan keinginan yang kuat. Bu Wiwik segera mengambil mikrofon yang ada di depan Ustaz Adhit. Ia lantas menyerahkannya kepada Mika. Mika tampak bersemangat. Ia melantunkan dua surah pendek menggunakan pengeras suara itu.

Mula-mula, Bu Wiwik hendak menggunakan mikrofon itu untuk mengapresiasi sikap Mika. Tiba-tiba tebersitlah sebuah ide.

“Mas Mika, sekarang gantian temannya, ya,” pinta Bu Wiwik.

Mika mengangguk dan menyerahkan mikrofon itu.

Bu Wiwik memberikan mikrofon itu kepada murid di sebelah kirinya. Setiap selesai satu surah, murid-murid otomatis mengestafetkan mikrofon tersebut kepada teman di sebelah mereka. Bersyukur, suasana menjadi lebih kondusif. Murid-murid antusias ingin menggunakan pelantang itu.

Begitulah anak-anak. Berdiam diri selama kurang lebih satu jam lamanya bukanlah perkara mudah. Pasti tak betah. Itulah salah satu fitrah anak. Namun, mereka harus belajar. Belajar menahan diri. Belajar sabar.

Dalam proses belajar itu, orang dewasa berperan untuk mengarahkan. Jika ada kesempatan, tak ada salahnya berupaya untuk mengalihkan sejenak kebosanan mereka.

Bagikan:
9 thoughts on “Tak Betah”

Comments are closed.

Scan the code