Tampak dari kejauhan, sandal anak-anak kelompok BAQ Ustaz Aruf sudah tertata rapi di rak depan musala. Pertanda bahwa anak-anak sudah datang semua. Selepas mengajar kelompok BAQ kelas 1, Ustaz Aruf segera menuju musala—tempat BAQ kelompok Ustaz Aruf kelas 2.
Pintu musala terbuka sedikit. Terlihat beberapa anak sudah duduk menunggu sambil mendaras. Ada yang sedang menata meja. Ada yang sedang mengobrol. Ada juga yang sedang bermain. Ustaz Aruf membuka pintu.
“Ustaz datang!” ujar salah seorang anak.
Yang tadinya masih mengobrol, berjalan-jalan, dan bermain, spontan bergegas menempati tempat duduknya. Terlihat semua anak sudah duduk di posisinya masing-masing. Tiba-tiba Kennard berdiri. Berjalan menuju Ustaz Aruf.
“Ustaz, titip ini, ya,” pinta Kennard.
“Oh, iya, sini, Kennard,” jawab Ustaz Aruf.
Ternyata Kennard menitipkan mainan yang ia bawa dari rumah. Melihat itu, teman-teman Kennard yang membawa mainan juga ingin menitipkannya kepada Ustaz Aruf.
“Ustaz, saya juga titip, Ustaz,” pinta Adit.
“Ustaz, saya juga titip ini, Ustaz,” pinta Fillio.
“Oke, bawa sini,” jawab Ustaz Aruf.
Mendapati itu, Ustaz Aruf membatin, “Masyaallah, Kennard, Adit, dan Fillio tahu diri.”
Ustaz Aruf gembira. Hal seperti itu tidak hanya satu atau dua kali mereka lakukan, tetapi sering. Setiap membawa mainan, mereka pasti menyerahkan mainannya kepada Ustaz Aruf sebelum pelajaran BAQ dimulai. Memang, belajar dengan membawa mainan sebetulnya kurang etis. Tetapi tidak dimungkiri bahwa dunia mereka masih dunia bermain. Yang membuat hal hebat ialah sikap tahu diri. Saat belajar, mainannya harus disimpan.
Sikap tahu diri yang ditunjukkan dari Kennard, Adit, dan Fillio tidak lepas dari peran guru kelas mereka. Kennard, Adit, dan Fillio telah memegang kuat pesan dari guru kelas mereka bahwa membawa mainan di kelas diperbolehkan, tetapi saat belajar harus disimpan atau diserahkan kepada Bapak/Ibu Guru. Pesan serupa juga pasti diberikan oleh orang tua mereka.
Apakah Ustaz Aruf perlu menyiapkan kotak penyimpanan?