“Setelah ini, Bu Naela ada acara mendesak?” selidik saya.
“Enggak, Pak,” jawab Bu Naela.
“Kita cari masjid, Zuhur dulu, ya?”
“Nggih, Pak.”
“Mas Kukuh, depan, kanan jalan ada masjid, kita salat di situ, ya?” ujar saya kepada sopir.
“Ya, Pak.”
Rabu (10/01/2024) itu, saya dan Bu Naela diantar oleh Mas Kukuh. Menggunakan mobil LPI Hidayatullah. Kami mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Rumah Edukasi. Bertempat di gedung LPPM Unnes. Pukul 07.30—11.30. Mulainya memang telat, tetapi pukul 11.30 kegiatan sudah selesai.
Mas Kukuh ternyata menunggu di Unnes. Tidak perlu menunggu terlalu lama, kami sudah dihampiri mobil LPI. Begitu kami naik mobil, tidak berselang lama zuhur tiba dan kumandang azan terdengar bersahutan.
Saya sangat bersyukur, dalam perjalanan, kami berkesempatan berhenti di masjid. Halamannya cukup luas untuk parkir. Toilet dan tempat wudunya sangat nyaman. Bahkan, kami dapat mengikuti jemaah Zuhur sejak awal—tidak terlambat—bersama jemaah masjid.
Ini pengalaman kedua yang cukup mengesankan saya.
Sebelumnya, Selasa (09/01/2024) pukul 10.00 saya mengikuti rombongan Pak Edrus—sekretaris Yayasan Abul Yatama. Silaturahmi ke Pak Hud. Rumah Pak Hud di Mranggen, Demak. Rombongan terdiri dari enam putra (Pak Edrus, Pak Eko, Pak Adi, Pak Aris, Pak Nasyriel, dan saya) dan lima putri (Bu Suci, Bu Etik, Bu Nana, Bu Peni, dan Bu Iin) ditambah Mas Kukuh.
Sepulang dari Pak Hud, kami diajak Pak Edrus berhenti di masjid. Memang sudah masuk zuhur. Masjid yang kami singgahi baru saja selesai azan. Kami pun salat Zuhur bersama dengan jemaah masjid.
Dua peristiwa yang saya alami, sebagaimana tersebut di atas, memang sangat mengesankan bagi saya.
Ini sangat erat kaitannya dengan pembinaan Sabtu (06/01/2024)—tiga hari sebelum kami berkunjung ke Pak Hud. Sabtu itu pembinaan diisi oleh Pak Hasan Toha—Ketua Dewan Pembina Yayasan Abul Yatama.
“Tidak pantas sebagai seorang guru di lingkungan Yayasan Abul Yatama Lembaga Pendidikan Islam Hidayatullah, salatnya tidak disiplin. Salat harus on time. Biasakan yang laki-laki harus salat berjemaah di masjid!” tegas Pak Hasan.
Mak jleb!
Ya, saat itu saya merasa tersindir. Ups, bukan hanya tersindir melainkan lebih dari itu. Barangkali ini lebih tepat: tertampar berkali-kali.
Spontan saya teringat salat saya selama ini. Gugatan dalam diri bermunculan. Sudah disiplinkah salat saya? Sudahkah dilakukan berjemaah? Sudahkah istikamah menjalakannya? Atau malah masih sering melalaikan salat?
Saya masih bisa berpikir wajar: semestinya setiap muslim disiplin dalam salat. Tidak peduli ia berada di mana. Tidak hanya guru. Tak hanya orang yang berada di lingkungan Yayasan Abul Yatama. Muslim yang nonguru juga sudah semestinya disiplin salat. Muslim yang di luar lingkungan Yayasan Abul Yatama juga sudah seharusnya disiplin salat.
Dalam konteks pembinaan Pak Hasan, saya sangat bisa memahami mengapa Pak Hasan mengkhususkan guru di lingkungan Yayasan Abul Yatama. Itu adalah bukti cinta kasih Pak Hasan kepada seluruh anak buahnya. Pak Hasan tidak hanya memikirkan urusan jangka pendek—dunia—tetapi beliau juga memikirkan urusan jangka panjang—akhirat.
Saya juga paham: untuk memperbaiki salat semestinya saya tidak perlu menunggu diingatkan orang lain. Namun, kenyataannya, saya masih sangat membutuhkan diingatkan orang lain.
Alhamdulillah, Sabtu itu saya mendapat banyak motivasi dari Pak Hasan. Dan dua pengalaman di pekan berikutnya makin menguatkan motivasi tersebut. Saya sangat berharap, perbaikan kualitas diri terus berjalan istikamah. Lalu menular kepada guru-guru di sekitar saya. Kemudian kepada para murid dan terus merambah lingkungan masyarakat sekitar. Semoga. (A1)