Hari masih pagi. Jarum panjang menunjuk angka 2. Jarum pendeknya menunjuk angka 6 lebih sedikit. Ridho tiba di Sekolah. Diantar kedua orang tuanya, beserta adik kecilnya. Tak berselang lama, Elora datang.
“Asalamualaikum, Bu Wiwik,” sapa Elora sembari mencium punggung tangan gurunya.
“Waalaikum salam. Wah, Mbak Elora nomor satu, nih,” sambut Bu Wiwik, “Bu guru ke musala dulu, ya,” lanjutnya.
“Iya, Bu,” respons Elora.
Elora menata isi tasnya. Beberapa saat kemudian, Elora menghampiri Bu Wiwik.
“Bu Wiwik sudah selesai salatnya?” tanya Elora.
“Belum, Bu Wiwik barusan ngecek ayunan. Ternyata belum selesai diperbaiki.”
Sabtu lalu, Pak Yoyon—ayah Adia—menyampaikan kepada Sekolah bahwa ayunannya kurang aman. Ada beberapa bagian ayunan yang sambungannya tidak kokoh. Segera, Sekolah menghubungi pihak yang berwenang atas hal tersebut. Tak lupa, para guru mengimbau murid-murid untuk sementara tidak bermain ayunan dulu. Bersyukur, Senin pagi ini, perbaikannya dimulai.
Sejurus kemudian, sebuah mobil putih meluncur memasuki gerbang Sekolah. Terlihat seorang gadis kecil berpamitan dan salim kepada ibundanya. Gadis itu turun dari mobil. Senyumnya merekah. Dia lantas berjalan menuju kelas. Sembari melambaikan tangan kepada para penumpang yang ada di dalam mobil. Sopir mobil, yang tak lain adalah sang ibunda, menangkupkan kedua telapak tangan beliau di depan dada. Beliau memandang ke arah Bu Wiwik sambil mengangguk dan tersenyum. Bu Wiwik membalas dengan hal serupa.
“Mbak Kalynn pernah ditinggal ibunya ke luar kota selama sepuluh hari, ya, Bu Wiwik?” tanya Elora.
“Mbak Elora kok tahu?” selidik Bu Wiwik.
“Iya. Saya sudah baca buku yang dikasih Bu Wiwik waktu itu. Saya baca dari halaman 1 sampai terakhir,” jelas Elora meyakinkan.
“Masyaallah! Semua halaman sudah dibaca?” tanya Bu Wiwik menelisik.
“Iya, Bu,” jawab Elora mantap.
“Wah, Mbak Elora keren!”
Kalynn salim kepada Bu Wiwik. Ia lalu bergegas menuju kelasnya. Elora mengekor.
***
Setengah jam kemudian, Icha tiba di kelas. Ia melepas sepatunya di ambang pintu. Icha lantas meletakkan sepatunya di loker petak 2. Sebelum menata isi tasnya, Icha salim dulu kepada Bu Wiwik.
“Aku …,” ucap Icha terjeda.
“Saya …,” sergap Bu Wiwik.
“Eh, saya,” Icha menyadari kealpaannya, “Saya semalam sudah menyelesaikan membaca buku yang hijau itu, Bu,” jelas Icha tiba-tiba.
“Buku ini?” timpal Bu Wiwik sambil menunjukkan buku bertajuk Semai Benih Karakter Utama yang ada di rak buku.
“Iya. Sudah saya baca semua sampai akhir,” respons Icha penuh keyakinan.
“Alhamdulillah. Bu Wiwik senang sekali, lo. Makasih, ya, Mbak Icha sudah mau membaca buku itu,” pungkas Bu Wiwik.
Icha mengangguk. Ia melanjutkan kegiatannya.
Tak disangka. Pagi ini, Bu Wiwik menerima dua kabar yang membuatnya berbunga-bunga. Murid-muridnya tertarik membaca 250 lebih halaman buku yang isinya hanya tulisan. Tidak ada gambarnya sama sekali. Mungkin apa yang disampaikan Pak Teguh Gw—penulis prolog dan epilog buku—benar adanya.
“Membaca buku ini, saya memperoleh tiga manfaat sekaligus: hiburan, edukasi, dan inspirasi (HEI).”
Semoga, Elora dan Icha juga mendapatkan manfaat(-manfaat) seperti yang diperoleh Pak Teguh itu.
MasyaAllah minat Mbak Elora dan Mbak Icha sangat bagus, semoga tetap rajin ya membaca bukunya.
Semoga istikamah dalam membaca Mbak Elora dan Mbak Icha