Ada dua penanya. Bu Kasih dan Bu Fitri. Bu Kasih dari TK ABA 39. Ada salah satu alumni TK ABA 39 yang saat ini di SD Islam Hidayatullah 02. Namanya, Iqbal. Sekarang Iqbal kelas 2. Bu Fitri dari TK Islam Al Azhar 14. Di acara ini, Bu Fitri hadir paling awal. Masuk ke ruangan bareng dengan Bu Iswanti dari TK PGRI 74. Namun, sebetulnya Bu Fitri sudah datang lebih gasik. Beliau mengobrol dengan Bu Suci terlebih dahulu. Bu Fitri dan Bu Suci sudah saling kenal. Maklum, sebelum menjabat sebagai Kepala Divisi Kesiswaan dan Pembangunan Karakter di LPI Hidayatullah, Bu Suci ditugasi sebagai Kepala TK Islam Hidayatullah.

Ternyata untuk merespons dua penanya ini membutuhkan waktu sedemikian rupa, hingga jam menunjukkan pukul 09.55. Pak Teguh, selaku moderator, tidak lagi membuka sesi tanya jawab dan memilih untuk mengakhiri acara Bedah Buku. Akhirnya, pukul 10.15 acara Bedah Buku sudah selesai. 

Plong rasanya.

Mengapa? 

Buku yang dibedah berjudul Semai Benih Karakter Utama. Ditulis oleh Bu Wiwik dan saya. Saat awal menulis, tidak ada niat untuk menyusun buku. Saya justru sering menekankan kepada Bu Wiwik: menulis untuk refleksi. Setelah saya dan Bu Wiwik menulis banyak keping tulisan, Pak Teguh melempar ide: menyusun buku. Saya sadar, ide itu sangat baik. Namun, di lain pihak saya juga sadar, saya itu pemula. Menurut saya, belum layak untuk dibukukan. Ups, saya tidak boleh egois. Saya juga harus mempertimbangkan pendapat Bu Wiwik. Saya lihat Bu Wiwik sangat support. Akhirnya, saya mengikuti ide Pak Teguh: menyusun buku.  

Tidak mudah. Banyak tantangan. Namun, Pak Teguh selalu hadir memberi arahan dan bimbingan. Demikian pula Bu Wiwik, konsisten mendukung. Tidak hanya lisan, tetapi juga tindakan. Di akhir tahun pelajaran 2022/2023, tepatnya Rabu, 21 Juni 2023, buku tersebut berhasil diluncurkan. Di depan wali murid kelas 1. Dalam kemasan acara “Ekshibisi Kreativitas Siswa”.

Bagi saya—yang masih tertatih-tatih dalam menulis—acara peluncuran buku itu merupakan penghormatan yang luar biasa. Saya merasa mendapat apresiasi dari wali murid—sekaligus berharap memotivasi murid-murid. Buku pun sudah dicetak dan dibagikan kepada wali murid, pimpinan LPI Hidayatullah, dan pimpinan Yayasan Abul Yatama.

Kamis, 13 Juli 2023, LPI Hidayatullah menyelenggarakan acara Penganugerahan Tanda Penghargaan Pengabdi. Bertempat di musala SD Islam Hidayatullah. Saya, Bu Wiwik, dan Pak Teguh dianugerahi tanda penghargaan. Kategori penghargaan inovasi. Dasarnya: buku Semai Benih Karakter Utama. Saya terkejut. Andai buku itu hanya saya yang menulis, saya akan memilih untuk bertanya dan mencari tahu alasan penghargaan itu. Saya merasa belum layak mendapat penghargaan tersebut. Lagi-lagi karena saya ini masih pemula. Belum ada apa-apanya.

Namun, ada penulis lain: Bu Wiwik. Secara struktural, Bu Wiwik bawahan saya. Penghargaan itu saya yakini merupakan bentuk pengakuan Yayasan kepada Bu Wiwik. Sebagai pimpinannya, saya justru sangat bersyukur. Saya berharap dapat menguatkan motivasi Bu Wiwik dan teman-teman guru di SD Islam Hidayatullah 02 untuk terus menulis dan berkarya dengan ragam inovasi lainnya.

Sehari setelah mendapat penghargaan itu, Pak Teguh melempar ide bedah buku. Saya kaget bukan kepalang. Wong mendapat penghargaan saja saya sudah sangat tidak nyaman, apalagi dibedah. Saya membayangkan: begitu malunya saya di depan peserta bedah buku. Seakan saya mendengar kalimat dari para peserta: tulisan pemula mengapa dibedah? Apakah tidak ada penulis lainnya yang ahli? Padahal, saya juga tahu di SMP Islam Hidayatullah ada penulis produktif yang sangat andal.  

“Konotasi positifnya, kemauan dan kemudian menjadi kebiasaan menulis yang penting bagi kepentingan sekolah itu menular ke semua satuan pendidikan di LPIH. Tentu, itu butuh sikap awal: mengakui nilai kepentingannya. Untuk mempromosikan nilai kepentingannya, mungkin bisa diawali dengan bedah buku,” jelas Pak Teguh.

“Mengakui nilai kepentingannya sebagai sikap awal. Pemahaman ini membuat saya merasa lebih mudah menata niat,” respons saya.

Tentang saya yang merasa sebagai penulis pemula, Pak Teguh menjawab dengan penjelasan seperti ini.

“Di sini justru nilai plusnya. Kalau maestro berteriak lantang bahwa menulis itu gampang, itu di telinga calon penulis terdengar sebagai bualan. Bagaimana tidak gampang, wong dia sudah maestro. Lha kalau penulis pemula bercerita tentang suka dukanya belajar menulis, berdarah-darahnya memperbaiki tulisan draf demi draf, stresnya menggali ide, bimbangnya menentukan angle, ribetnya menyisihkan waktu, dan bla, bla, bla … itu sesuatu banget.”

Memang sering kali penjelasan Pak Teguh memberi pencerahan untuk saya dan teman-teman. Pak Teguh hampir selalu melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari orang lain. Dan hampir selalu tak terduga.

Untung saya tidak langsung menolak. Untung saya minta penjelasan terlebih dahulu. Dan atas hal tersebut, saya teringat ini: adab sebelum ilmu. Sudah sepatutnya adab didahulukan. Tanpa mengabaikan ilmu. 

 

Bagikan:
Scan the code