“Mas Qaleed, silakan azan!”

Qaleed tersenyum. Sambil menggelengkan kepala.

“Saya lihat jadwal, hari ini, petugasnya Mas Qaleed.”

Qaleed masih duduk di tempat. Tidak keluar komentar apa pun dari bibirnya. Pandangannya tertuju ke saya. Ia masih tersenyum, sambil tetap menggelengkan kepala.

“Mas Qaleed bisa azan, kan?” tegas saya.

Qaleed tetap bertahan. Ia tersenyum dan menggelengkan kepala.

Saya bingung. Apa yang mesti saya lakukan? Haruskah saya marah? Bila saya marahi, apakah akan berhasil? Atau justru menjatuhkan mental dan menurunkan kepercayaan dirinya?

Saya masih ingat. Saat itu saya memberi kesempatan Qaleed untuk melantunkan ikamah. Qaleed tidak mau. Ia menggelengkan kepala. Akhirnya saya alihkan kepada anak lain.

Besoknya, Qaleed saya beri kesempatan lagi. Tetap tidak mau. Saya alihkan kepada anak lain lagi.

Hari berikutnya, masih sama. Demikian seterusnya, hingga semua anak putra sudah melakukan. Kecuali dua anak: Hafidz dan Qaleed.

Setelah itu, dua anak ini saya minta untuk ikamah. Saya beri penjelasan bahwa semua sudah. Tinggal mereka berdua. Tetap keduanya tidak mau. 

Saya mencoba mencari tahu penyebabnya. Adakah karena belum hafal? Ternyata keduanya sudah bisa. Hafal. Lalu kenapa tidak mau? Saya cari informasi. Dugaan saya semakin menguat: kurang percaya diri.

Sebetulnya kedua anak ini dalam berbagai kesempatan, terutama saat pembelajaran di kelas, saya pandang menunjukkan sikap percaya diri yang baik dan cukup menggembirakan.

Namun, saya juga tidak bisa mengingkari faka ini: tidak mau ikamah. Itu pengalaman semasa Qaleed masih di kelas 1.

 

Saat ini Qaleed kelas 2. Anak-anak kelas 2 tidak hanya ditugasi melantunkan ikamah, tetapi sekaligus melantunkan azan. 

Berbekal pengalaman sebelumnya, saya mencari cara. Tujuannya: Qaleed dan Hafidz mau melantunkan azan dan ikamah. Kalau sebelumnya anak-anak sekadar ditawari (anak berkesempatan menolak tawaran), kali ini saya meminta guru membuat jadwal. Semua anak putra kelas 2 terjadwal. Termasuk Qaleed dan Hafidz. Anak-anak tetap mendapat ruang untuk terlibat dalam penyusunan jadwal. Yakni, terkait pilihan hari. 

Namun, Senin (25/09/2023) siang ini, saya dihadapkan kenyataan yang di luar dugaan. Walau sudah terjadwal dan anak-anak terlibat menyusun jadwal, Qaleed tetap tidak mau. Padahal keberadaan jadwal tersebut adalah dalam rangka menjadikan Qaleed mau. Ternyata ….

Saya benar-benar bingung. Kalau saya beri kesempatan untuk tidak azan, saya juga khawatir akan berdampak negatif bagi Qaleed. 

Dalam kondisi demikian, akhirnya saya hanya bisa pasrah. “Ya Allah, haruskah saya akting marah? Kalau itu yang terbaik, mudahkanlah saya melakukannya!”

Sesaat kemudian, muncul ide.

“Mas Qaleed belum hafal azan?”

Lisan Qaleed tidak menjawab, tapi ia menganggukkan kepala. Saya merasa ada peluang.

“O, kalau begitu, Mas Qaleed ke sini! Di sebelah Pak Kambali.”

Qaleed berdiri lalu bergegas menuju tempat yang saya tunjuk. Wajahnya masih menampilkan senyuman.  Ia duduk di sebelah saya. Tetap diam, tak bersuara apa pun.

“Pak Kambali akan menuntun Mas Qaleed. Mas Qaleed tinggal menirukan dan mengikutinya. Gimana? Siap, ya?”

Lagi-lagi Qaleed hanya tersenyum. Tak bersuara. Ia hanya menganggukkan kepala. Kemudian, tak berselang lama, ia berdiri. Saya memenuhi komitmen. Saya tuntun Qaleed. Meskipun beberapa saat kemudian, saya sudah yakin, Qaleed tidak butuh dituntun. Ia sudah hafal azan. Namun, ia butuh penguatan mental dan kepercayaan diri. 

Akhirnya Qaleed berhasil menyelesaikan tugasnya hari ini. Sebagai muazin. Mengumandangkan azan dan sekaligus ikamah. Saya merasa marem. Setidak-tidaknya, saya sudah menunjukkan kepada Qaleed bahwa sebenarnya ia bisa. Tanpa harus saya marahi. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur. (A1)

Bagikan:
Scan the code