Bel penanda waktu istirahat kedua berbunyi. Anak-anak berhamburan ke luar ruangan. Saat istirahat pertama, sebagian besar murid menghabiskan waktunya di dalam kelas. Mereka menikmati kudapan yang dibawa dari rumah. Ketika istirahat kedua, murid-murid lebih memilih aktivitas di luar ruangan. Ada yang bermain bola di bawah terik matahari. Ada pula yang bermain kejar-kejaran.
Bagi orang dewasa, kegiatan anak-anak itu sangatlah melelahkan. Namun, itulah yang anak-anak perlukan. Anak-anak butuh menyalurkan energi mereka. Setidaknya, ketika waktunya belajar, mereka jadi lebih tenang. Energi mereka tidak lagi meluap-luap.
Bu Wiwik menuju kamar mandi. Sebelum sampai ke kamar mandi, ia menjumpai beberapa muridnya berada di dapur. Ada Adit, Langit, Itaf, dan Haqqi. Mereka adalah murid-murid kelas 2. Pak Slamet—petugas kebersihan—juga ada di sana.
“Lagi pada ngapain?” tanya Bu Wiwik.
“Habis minum teh, Bu,” jawab Adit tersipu.
“Oh. Minumnya sambil duduk, kan?” selidik Bu Wiwik
“Iya dong, Bu,” jawab Langit.
“Jangan merepotkan Pak Slamet, lo, ya.”
“Enggak kok, Bu. Habis minum, gelasnya saya cuci lagi,” jawab Itaf.
“Hebat!”
Bu Wiwik mengacungkan ibu jarinya ke arah murid-murid itu. Ia heran, dari mana mereka mendapat ide untuk meminta teh dari Pak Slamet.
Setiap pagi, Pak Slamet mengambil seteko teh dari SD Islam Hidayatullah. Teh itu diperuntukkan bagi guru SD Islam Hidayatullah 02 (SDIH 02) yang menghendaki. Ada sembilan guru dan tiga pegawai QLC di SDIH 02. Dari 12 orang itu, hanya 5 orang saja yang menghendaki teh. Jadi, ada lebihan teh di dapur. Rupanya, anak-anak tahu hal itu.
Pagi berikutnya, Bu Wiwik bertemu Pak Slamet di selasar.
“Anak-anak minta teh itu sejak kapan, Pak?’ tanya Bu Wiwik.
“Sekitar sepekanan, Bu,” jawab Pak Slamet.
“Mboten ngrepoti Pak Slamet, to?”
“Mboten, Bu. Wong mereka mencuci gelasnya sendiri. Biar latihan tanggung jawab, Bu.”
“Alhamdulillah. Leres, Pak. Nyuwun tulung diingtakan juga tentang adab saat minum, nggih, Pak.”
“Nggih, Bu. Anak-anak kalau minum sambil duduk di kursi. Pakai tangan kanan juga. Setiap jam 9 dan 11 pasti mereka ke dapur, Bu. Saya malah seneng tehnya tidak mubazir,” jelas Pak Slamet.
Bu Wiwik memungkasi percakapan dengan ucapan terima kasih.
Bersyukur, tidak hanya guru yang terlibat dalam upaya mengembangkan karakter baik anak. Pak Slamet juga turut mendukung dan menjaga tumbuhnya karakter baik itu. Tidak hanya dengan lisan, beliau juga membuktikan dengan perbuatan. Salah satunya, setiap hari Pak Slamet turut serta salat Zuhur berjemaah di musala. Beliau juga turut berperan mencontohkan menjadi muazin yang baik. Kini, hampir semua murid putra kelas 2 telah mampu melantunkan azan dan ikamah. Bisa jadi, mereka termotivasi oleh Pak Slamet.
Semoga, keteladanan Pak Slamet memperkuat salah satu pilar pendidikan, yakni sekolah. Pak Slamet merupakan bagian dari sekolah. Anak-anak juga bisa belajar dari beliau. Terima kasih, Pak Slamet.
warrior forum best backlink service
tdyedomnn qnpyx jxqgmyq bygy ngjyhhrxvhxzrws