“Kelompok Ustaz Adhit gabung jadi satu dengan kelompok saya atau bagaimana baiknya, Pak Kambali?” tanya Ustazah Layla.
“Saya saja yang masuk kelompok Ustaz Adhit.”
Jumat (20/1) itu Ustaz Adhit tidak masuk sekolah karena sakit. Setelah tahfiz di kelas berakhir, saya bergabung dengan anak-anak yang mengaji dengan Ustaz Adhit. Saya hitung. Ada delapan anak. Dua anak lainnya tidak masuk sekolah.
Saya memperhatikan capaian anak-anak. Sementara anak-anak masih sibuk menata dampar. Masing-masing menghadap satu dampar yang telah mereka tata. Haqqi bahkan sudah sempat mengambilkan dampar untuk saya. Setelah semua duduk tertib, saya memulai pelajaran dengan salam.
Kali ini doa pembuka dipimpin oleh Kapten Fillio. Usai doa pembuka, anak-anak saya ajak mendoakan Ustaz Adhit. Baru setelah itu, saya lanjutkan mengulang kembali dan memastikan tahfiz anak. Kebetulan capaian anak-anak adalah Al-Takāṡur: 8. Masing-masing anak secara bergiliran saya minta untuk melafalkan seluruh ayat pada surah tersebut.
Nayla dapat melafalkannya secara tuntas. Bacaan Nayla sangat lancar. Adapun tujuh lainnya, ternyata belum tuntas. Rendra masih beberapa kali tertukar huruf. Demikian pula dengan Haqqi. Lima anak lainnya—Kennard, Fillio, Naufal, Daffa, dan Hasna—masih ada huruf yang hilang. Hampir semua yang tidak tuntas terjadi pada dua ayat terakhir, ayat ketujuh dan kedelapan.
Seketika saya tertantang. “Paling tidak ayat ketujuh tiap anak harus tuntas,” saya membatin, menguatkan tekad.
Dengan cara sebagaimana biasa, ana-anak saya ajak mengulang-ulang ayat ketujuh. Lalu saya minta satu per satu untuk melafalkannya kembali. Masih keliru. Satu per satu saya bantu secara intensif. Jelas itu memakan banyak waktu, tetapi tidak masalah. Walaupun demikian, ternyata tetap saja masih gagal. Saya duga pemicunya adalah masalah konsentrasi. Ini kali kesekian saya masuk kelompok ini. Anak-anak telanjur menganggap saya sebagai orang yang “ramah”. Kali ini saya berpikir untuk mempraktikkan rencana yang pernah terlintas, tetapi belum pernah saya lakukan. Ya, berakting marah.
Masyaallah. Hanya dalam waktu yang lebih singkat dibanding sebelumnya, ketujuh anak tersebut berhasil menuntaskan ayat ketujuh. Dan sekarang saya harus menetralisasi situasi kelas. Namun, waktu tinggal tersisa 5 menit. Saya ragu, antara meminta Kapten memimpin doa penutup atau menetralisasi kelas. Akhirnya Kapten Fillio saya minta untuk memimpin doa penutup. Belum sempat Kapten Fillio memberi aba-aba, tiba-tiba Kennard berucap.
“Sepertinya Pak Kambali ada yang lupa?”
“Apa, Mas Ken?”
“Belum baca jilid.”
Wow, ternyata Kennard biasa saja dengan suasana akting saya. Bahkan Kennard masih tampak polos dan dalam suasana biasa saja. Ia pun berani bertanya sekaligus mengingatkan saya. Saya pun gunakan sisa waktu itu untuk menjelaskan apa yang ditanyakan Mas Kennard. Anak-anak saya beri pemahaman mengapa hari itu hanya tahfiz tanpa membaca jilid.
Ternyata Kennard cukup kritis. Ia berhasil melihat kondisi yang tidak seperti biasanya. Bahkan, ia pun berani mengungkapkannya dengan orang yang terkait. Terima kasih, Kennard, atas keberanian dan sikap kritrisnya. (A1)
