Pagi yang cerah. “Oke”, jawab mesin presensi, sesaat setelah saya meletakkan jari telunjuk pada scanner-nya. Hari ini saya tidak mengajar jam pertama hingga jam ketiga. Tas sengaja saya taruh di ruang guru. Menuju kelas. Alhamdulillah, masih sepi. Saya bisa menjumpai anak yang hadir pertama nanti. Menyalakan lampu, AC, dan mengisi botol minum adalah rutinitas minimal yang selalu saya lakukan setiap pagi.
Menuju ruang guru, pandangan mata ini tertuju pada sebuah pohon pucuk merah. Rupanya beberapa helai daunnya melengkung. Tanda kehausan. Kasihan. Andai ia punya tangan dan kaki, pasti akan mencari minum sendiri. Seperti saya.
Saya segera mengisi botol minum, lalu meletakkannya kembali di kelas. Bergegas, saya menuju keran di sisi utara halaman. Kenop keran saya putar ke kiri. Selang sepanjang 50 meter terhubung dengan keran ini. Dua puluhan tanaman berjajar di halaman sekolah. Difungsikan sebagai tabir teriknya cahaya matahari. Saat cuaca panas, tembok depan Sekolah memantulkan cahaya yang menyilaukan mata. Alhamdulillah, jajaran pohon itu membantu mereduksi silaunya pantulan cahaya tersebut. Sungguh tak adil jika saya membiarkan mereka kehausan, padahal mereka telah mengorbankan diri menjadi tameng.
Saya mulai dari pohon paling utara. Dalam hati, saya membatin tiga puluh hitungan untuk setiap pohon. Tiba di pohon yang kehausan. Ide nakal tercetus.
“Tak ada salahnya saya ‘ngakali’ anak-anak yang piket hari ini untuk menggantikan saya menyiram tanaman ini,” gumam saya.
Oke. Saya hentikan kegiatan ini.
Kembali ke kelas. Merapikan meja-meja anak yang sedikit tak simetris.
“Asalamualaikum,” suara seorang anak memecah keheningan.
“Waalaikumsalam, Mas Adit,” jawab saya sembari menyambut uluran tangan kanan Adit.
“Diantar siapa, Nak?”
“Tadi, aku diantar Kakak, Bu. O iya, hari ini aku piket.”
Pucuk dicinta, ulam pun tiba!
“Oke. Kalau begitu Adit bereskan tasnya dulu, nanti bantu Bu Wiwik, ya.”
Seusai berberes, Adit melepas kaus kakinya lalu menghampiri saya.
“Adit bantu Bu Wiwik apa?” tanya anak itu.
“Yuk, ikut Bu Wiwik!”
Saya berjalan menuju halaman sekolah. Adit mengekor di belakang.
“Mas Adit, pegang selang ini. Arahkan ke tanah di dalam pot ini, ya. Bu Wiwik mau menyalakan kerannya.”
Saya sedikit berlari menuju keran. Membuka keran. Saya lantas kembali menghampiri Adit.
“Adit berhitung sampai 30, ya. Nanti kalau sudah 30 hitungan, Adit pindah ke tanaman berikutnya,” jelas saya.
“Oke, Bu Wiwik.”
Sambil menunggu Adit, saya mencabuti rumput liar yang tumbuh di bawah tanaman pucuk merah. Sengaja. Saya berharap Adit melihat dan …. Ah, sudahlah.
“Dua lapan, dua sembilan, tiga puluh. Sudah Bu, sudah tiga puluh.”
“Oke, geser ke kanan. Siram dan hitung lagi, ya. Bu Wiwik akan tarikkan selangnya lagi.”
***
Alhamdulillah, semua tanaman tuntas tersiram. Tak cukup hanya menyiram, Adit juga membantu menarik selang kembali ke asalnya. Ia melakukannya dengan senang hati. Terlihat dari senyum lebar dan semangatnya.
“Terima kasih, Adit. Kamu menyempatkan datang lebih awal untuk menunaikan tanggung jawabmu,” gumam saya dalam hati.
Pengalaman “ngakali” ini sering saya lakukan kepada murid-murid saya. Saat jeda pelajaran, saya sering “ngakali” mereka menjumputi kotoran yang ada di karpet. Tak jarang pula, saya “ngakali” beberapa murid yang belum fasih membaca atau mereka yang pemalu untuk membagikan buku bergaris tiga milik teman-teman mereka. Bersyukur, murid-murid saya tak merasa “diakali”. Malah sering rebutan ingin “diakali”. Semoga dugaan ini benar. Karena sejatinya, gurumu ini bermaksud “ngajari”, bukan “ngakali”. (A2)
Kelak, setelah beranjak besar, Mas Adit (dan teman-temannya) akan menyadari betapa besar manfaat “akal-akalan” Bu Guru ini dalam membentuk berbagai karakter positif mereka. Jadi, mereka memperoleh dua kebahagiaan dari “akal-akalan” ini. Kebahagiaan pertama, kontan ketika melakukan aktivitas, mereka sekaligus merasakan nuansa permainan, kompetisi, kolaborasi, dan sebagainya. Kebahagiaan kedua, tertunda cukup lama, kelak ketika mereka terjun ke kehidupan nyata dan dirasakan kontribusinya bagi lingkungan. Untuk menemukan kebahagiaan kedua itu memang butuh waktu yang tidak singkat, seperti tergambar pada cerita ini: https://sdislamhidayatullah02.sch.id/2022/08/23/ayahku-seorang-pendidik/.
Kelak, kalau membaca tulisan ini, mereka barangkali akan memprotes Bu Guru: “Waktu itu bukan kami yang dimanfaatkan Bu Guru untuk menyirami tanaman agar tidak layu, melainkan Bu Guru justru memanfaatkan tanaman-tanaman itu yang untuk menyirami jiwa kami agar tumbuh subur.”
Semoga.