Pukul 08.45. Saya bermaksud ke toilet. Dari ruangan yang saya tempati menuju toilet, saya perlu melalui lima ruangan lainnya. Salah satunya, ruang kelas 1. Sebelum sampai di depan pintu ruang kelas 1, saya melihat ada salah satu anak keluar dari ruang tersebut. Anak itu berjalan cepat menuju arah yang sama dengan arah saya. Saya percepat gerak langkah saya. Semakin dekat, semakin jelas anak itu. Ternyata Mas Sultan.
Mas Sultan tiba di toilet. Saya di belakangnya. Berjarak sekitar 6 meter. Pintu toilet di depan Mas Sultan tertutup. Pertanda ada orang yang sedang memakainya. Sesaat kemudian, pintu toilet terbuka. Dari arah dalam tampak anak laki-laki menggerakkan pintu, memperlebar jalan keluar. Ia berseragam Pramuka. Di bagian kanan bajunya tertempel atribut nama. Dari atribut itu, saya jadi tahu anak itu. Ia biasa dipanggil Qaleed. Mas Qaleed melangkahkan kaki kanannya. Keluar dari toilet. Ia melihat Mas Sultan berseloroh.
“Lo, Sultan kok ke sini? Saya, kan, tidak meminta bantuan Sultan untuk menemani saya?”
Memang bila bermaksud ke toilet, anak-anak biasanya didampingi guru. Bila guru sedang ada kegiatan dan tidak bisa mendampingi, dipersilakan mengajak temannya.
Mas Sultan hanya senyum-senyum. Ia tidak bersegera menimpali pertanyaan Mas Qaleed. Saya mendekat. Ikut nimbrung bicara.
“Mas Qaleed berani sendiri ke toilet?”
“Berani.”
“Tadi Mas Qaleed pipisnya sambil berdiri atau jongkok?”
“Jongkok.”
“Sudah disiram apa belum?”
“Sudah.”
“Alhamdulillah, anak saleh.”
Saya bersyukur sekali. Ada yang sudah mempraktikkan—bisa jadi sudah membiasakan—adab ketika pipis. Semoga menular ke seluruh siswa dan warga SD Islam Hidayatullah 02.
Memang beberapa hari sebelumnya saya pernah memergoki salah satu siswa ke toilet. Ia tidak menutup pintu. Ia pipis sambil berdiri. Saya menghampirinya. Ia sudah selesai pipis, tetapi belum istinja. Saya membantu mengistinjakan anak itu. Sambil jongkok. Sekaligus saya tunjukkan posisi jongkok yang nyaman bagi anak itu. Pun saya tunjukkan akibat pipis sambil berdiri: air seni menciprat ke mana-mana. Lalu saya simulasikan cara menyiram semua bagian yang terkena air seni—akibat pipis sambil berdiri. Kloset, sekitar kloset, dinding, dan ember.
Sembari menyiram, saya berpesan, “Setelah ini, kalau pipis sambil jongkok, ya? Lebih nyaman, kan?”
“Iya.”
Begitulah anak kelas satu. Perlu kesabaran untuk mengajarinya membiasakan hal baik. Namun, begitu mendapati anak telah berhasil melakukan hal baik, rasanya bahagia sekali. Marem. (A1)
Sebagian anak kelas 1 belum mampu menunaikan buang hajat–buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB)–secara mandiri. Mereka masih membutuhkan bantuan orang dewasa untuk menunaikannya. Bila bantuan tak diperoleh, adakalanya mereka meninggalkan toilet kotor seusai BAK/BAB. Bisa juga mereka tidak membersihkan organ BAK/BAB-nya. Yang lebih membuat iba, mereka yang BAK/BAB di celana karena gagal membuka celananya atau takut ke toilet sendirian.
Kepekaan dan kepedulian guru berkontribusi besar dalam mengatasi masalah mereka. Namun, kepedulian itu bisa orientasinya jangka pendek: yang penting anak bisa BAK/BAB secara tuntas; lalu bersih badan, pakaian, dan toilet sesudahnya.
Beruntung Sultan, Qaleed, dan teman-temannya mendapati guru yang kepeduliannya berorientasi jangka panjang. Mereka bukan sekadar dibantu untuk menyelesaikan hajatnya saat itu, melainkan dibimbing agar kelak bisa menunaikan hajat secara mandiri. Kelebihan lainnya, mereka tidak hanya diajari caranya secara teknis, tetapi juga diantarkan untuk merasakan dampaknya.
Begitulah pendidikan karakter: knowing the good, doing the good, feeling the good, acting the good, hingga akhirnya loving the good.
Mudah-mudahan karakter caring dan empowering menjadi passion semua guru di sekolah Qaleed dan Sultan. Dengan begitu, teacher as coach menjadi budaya sekolah.