Tiba-tiba seorang anak masuk ruangan. Tanpa salam. Sembari berlari, ia mendekati kursi yang saya duduki. Saya sempat bimbang. Saya minta ia mengulang untuk memperbaiki cara masuk ruangan orang lain atau langsung saya ajak jabat tangan. Bila memintanya mengulang, saya khawatir anak tersebut tidak nyaman dan ngambek, tidak mau lagi belajar. Kebetulan ini masih pekan kedua anak masuk sekolah. Anak-anak masih butuh beradaptasi dalam banyak hal. Termasuk pembiasaan masuk ruangan orang lain. Sebaliknya, jika langsung mengajaknya berjabat tangan, saya khawatir menjadi kebiasaan tidak baik. 

Pergulatan dua pilihan ini harus saya hentikan. Kebimbangan saya ini harus segera berkeputusan. Waktunya sangat terbatas. Akhirnya, saya pilih meminta anak itu untuk mengulang cara masuknya dari sejak di depan pintu. Anak itu menurut. Ia kembali ke depan pintu. Belum sempat ia berucap salam, empat anak lainnya telah berada di kanan, kiri, dan belakangnya. Napas mereka tersengal-sengal. Tampak sekali baru saja mereka berlarian menuju depan pintu ruangan saya. Hampir serentak, mereka mengucapkan salam.

Al-salāmu`alaikum.”

Wa`alaikum al-salām waraḥmatullāh. Nah, ini baru anak hebat. Salam terlebih dahulu sebelum masuk ruangan,” 

Wajah anak itu—yang saya minta mengulang—tampak tersenyum. Ia lalu masuk sembari berjalan wajar. Diikuti teman-temannya. Saya berdiri, lalu mengajak mereka berjabat tangan. Satu per satu. Sembari berjabat tangan, secara bergilir, masing-masing saya tanya, “Tadi sudah salat subuh apa belum?”

Jawaban kelima anak itu sama. Mereka belum salat subuh. Sebelum mereka mengajak bicara tentang topik lain, segera saya beri pesan kepada anak-anak itu.

“Besok, setelah bangun tidur, salat subuh, ya?”

“Ya, Pak,” jawab mereka serempak.

Besoknya, sejumlah anak yang masuk ke ruangan saya. Saya tanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jawaban mereka masih sama. Belum salat subuh. Hanya saja, saya memang tidak hafal, apakah yang kemarin dengan yang hari ini, anaknya sama atau malah beda anak.

Beberapa hari kemudian, saya bertanya lagi kepada anak-anak yang saya jumpai di selasar. Pertanyaannya sama. Ternyata, jawabannya juga sama persis. Belum salat subuh.

Pengalaman itu terjadi pada Juli 2022. Pengalaman bertanya ini membuat saya berpikir ulang. Jangan-jangan cara bertanya ini memang tidak efektif untuk anak-anak. Atau bahkan, justru berdampak negatif, anak semakin tidak bersemangat menjalankan salat.

***

Senin (12/9) saya tiba di Sekolah sebelum pukul 06.30. Setelah finger print, saya masih di dalam ruang TU. Saya duduk di depan komputer. Sembari mengecek persiapan rapor tengah semester. Sesaat kemudian, terdengar salam dari depan pintu. Saya menjawab salam sambil melihat sumber suara. Ternyata, Adit. Siswa kelas 1. Saya persilakan Adit masuk. Ia mendekat lalu mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman. Pagi itu terasa membahagiakan sekali. Biasanya, saya yang terlebih dahulu mengulurkan tangan, mengajak jabat tangan. Kali ini, alhamdulillah, ada anak yang mengulurkan tangan terlebih dahulu. Usai bersalaman, ia bercerita.

“Tadi pagi, saya salat subuh.”

“O, ya? Alhamdulillah.” 

Sempurna sudah kebahagiaan pagi ini. Saya masih ingat, salah satu anak yang di awal tahun saya tanya salat subuhnya adalah Adit. Kali ini, setelah sekitar 2 bulan, Adit telah menjalankan salat subuh. Saya memang belum tahu pasti apa yang menyebabkan ia salat subuh. Bisa jadi bukan karena faktor pertanyaan dari saya. Namun, otomatis saya jadi teringat dengan kisah Nabi Yunus. 

Saya akui, saya sempat putus asa. Gara-gara saya terlalu berharap hasil. Bahkan cenderung fokus pada hasil. Padahal, perubahan perilaku pastilah butuh proses. Prosesnya pun tidak bisa dipastikan berapa lama waktunya. Jangankan orang lain, saya sendiri pun butuh waktu untuk mengubah kebiasaan. Semestinya, saya lebih fokus pada proses. Bukankah ranah hasil adalah wewenang Tuhan? Manusia hanyalah berada dalam ranah ikhtiar. 

Barangkali ini adalah contoh nyata. Sabtu (10/9), dua hari sebelumnya, saya mendapat wejangan dari Ustaz Haris—Direktur Lembaga Pendidikan Islam Hidayatullah—mengenai fitrah anak. Guru wajib menjaga fitrah anak. Beliau melarang guru melakukan tindakan yang memberangus fitrah anak. Kata beliau, fitrah anak adalah pembelajar yang tangguh. Senin itu Adit telah menjalankan salat subuh. Adit telah menunjukkan bahwa ia seorang pembelajar yang tangguh. (A1)

Bagikan:
10 thoughts on “Pembelajar Tangguh”

Comments are closed.

Scan the code