“Anak-Anak, sekarang Bu Wiwik akan membagikan kartu nama kosong,” ucap Bu Wiwik.
Yeay!” seru anak-anak girang.

Dua jam terakhir hari ini yang sedianya terjadwal SBdP, dialihkan oleh Bu Wiwik menjadi pelajaran Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang terjadwal di jam ke 3—4, terpaksa harus ditunda karena gurunya lebih memprioritaskan menyelesaikan pembimbingan wudu dan salat duha. Dua pekan awal pembelajaran di tahun ajaran baru masih membutuhkan penyesuaian—terutama dalam hal alokasi waktu.

“Bu Wiwik minta izin berbicara dulu selama kurang lebih tujuh menit, ya. Setelah itu anak-anak boleh bertanya atau menyampaikan hal apa pun tentang tugas kali ini. Selama menjelaskan, Bu Wiwik minta tolong anak-anak memperhatikan dulu. Setuju?”

“Setuju!” kompak, anak-anak menjawab pertanyaan guru mereka.

Bu Wiwik harus sering menyampaikan kalimat tersebut di hadapan murid-muridnya. Jika tidak, celoteh mereka tak kan terbendung.

“Setiap anak akan mendapatkan satu lembar kartu nama kosong. Anak laki-laki kartu namanya bergambar kereta. Sementara, kartu nama anak perempuan bergambar istana dan pelangi,” Bu Wiwik menjelaskan.

“Pada halaman yang bergambar, silakan tulis nama kalian masing-masing. Boleh ditambah gambar yang menunjukkan dirimu. Di sebaliknya, gambarlah sebuah benda yang paling kalian sukai. Nanti, secara bergantian, Bu Wiwik akan menunjuk beberapa anak untuk bercerita tentang dirimu dan benda kesukaanmu.”

Instruksi tersebut kembali diulang oleh Bu Wiwik dan ia memastikan semua muridnya paham.

“Anak-Anak mengerjakan dulu ditemani Bu Layla dan Bu Afifah. Bu Wiwik minta izin salat Zuhur dulu, ya,” ucap Bu Wiwik memungkasi penjelasannya.

***

“Apakah semua sudah selesai mengerjakan?” tanya Bu Wiwik kepada murid-muridnya.
“Sudaaah,” jawab sebagian besar murid.
“Oh, ternyata ada yang belum selesai. Kita beri tambahan waktu 5 menit lagi, ya, Teman-Teman?” pinta Bu Wiwik yang disetujui oleh murid-muridnya.

Anak-anak yang sudah selesai mengerjakan diminta untuk mengumpulkan hasil pekerjaannya lalu duduk di karpet sesuai kelompoknya.
Lima menit berselang, seluruh siswa telah selesai mengerjakan tugasnya.

“Bu Wiwik akan memilih secara acak anak-anak yang maju untuk memperkenalkan diri dan bercerita. Bu Wiwik penasaran dengan gambar yang satu ini. Dan ternyata kartu nama ini milik Mas Langit. Silakan Mas Langit berkenalan dan bercerita.”

Anak kecil yang disiplin memakai maskernya tersebut maju ke depan lalu memperkenalkan diri.
“Teman-teman, namaku Langit Shiva Nyala-Aulia. Benda yang paling aku sukai adalah …. Teman-teman tahu tidak ini apa?”
Jawaban beragam terlontar dari teman-teman Langit. Ada yang menjawab PS, game, dan HP.
“Bukan, ini adalah Nintendo generasi terbaru yang aku ciptakan. Aku ingin menjadi gamer yang terkenal di dunia.”

“Masyaallah. Semoga Allah mengabulkan, ya, Nak. Untuk menjadi penemu sebuah alat, Mas Langit harus rajin belajar dan melakukan banyak eksperimen. Kadang eksperimen itu gagal berkali-kali, namun kita tidak boleh putus asa. Selamat! Mas Langit sudah bercita-cita setinggi langit.”

“Baik, terima kasih, Mas Langit. Teman-Teman, beri tepuk tangan untuk Mas Langit. Silakan duduk kembali,” ucap Bu Wiwik yang kemudian melihat kembali ke tumpukan kartu nama di tangannya.

“Kali ini Bu Wiwik penasaran dengan gambar ini. Mari kita lihat siapa pemiliknya. Pemilik kartu ini adalah seorang anak yang ibunya adalah seorang tentara. Siapakah dia? Wah, ternyata ini punya Mas Adit. Silakan Mas Adit bercerita.”

“Teman-Teman, aku Adit. Aku menggambar pintu menuju surga Allah. Kalau yang ini: pintu menuju neraka.”
“Masyaallah! Kenapa Adit menggambar itu?” tanya Bu Wiwik.
“Soalnya besok Adit mau masuk ke pintu surga. Kalau pintu neraka buat orang-orang yang tidak baik.”
“Teman-Teman, biar kita bisa masuk pintu surga caranya bagaimana?”
“Salat, membantu orang tua, harus baik, harus sedekah, tidak boleh memukul teman,” teman-teman Adit berebut menjawab pertanyaan guru mereka.
“Iya, betul semua! Kalau kita ingin masuk surga. Kita harus memperbanyak perbuatan baik seperti yang kalian sebutkan tadi. Anak-Anak bisa?” tanya Bu Wiwik.
“Bisa!” jawab murid-muridnya serempak.
“Oke, beri tepuk tangan untuk Mas Adit,” pinta Bu Wiwik sembari menyilakan muridnya duduk kembali.

“Teman-Teman, waktu kita tinggal lima menit. Kita dengarkan lagi satu cerita dari teman kita, ya. Yang belum sempat bercerita, insyaallah kita lanjutkan besok. Kali ini Bu Wiwik penasaran dengan gambar yang satu ini. Ini milik siapa, ya?”

Si empunya kartu tersipu, lalu maju ke depan kelas.
“Halo, Teman-Teman. Namaku Hafidz. Ini aku menggambar balon. Aku ingin terbang tinggi seperti balon ini,” jelas Hafidz.
Kalimat Hafidz ini disambut tepuk tangan dan senyum kegembiraan oleh teman-temannya.
“Mengapa Mas Hafidz ingin terbang tinggi?” tanya Bu Wiwik penasaran.
”Soalnya Hafidz ingin punya cita-cita yang tinggi. Tapi Hafidz belum tahu apa,” jawabnya lugu.
“Oh, ya. Tidak mengapa jika saat ini anak-anak belum mengetahui cita-citanya apa. Insyaallah, nanti kita akan tahu saat dewasa. Yang penting, anak-anak terus rajin belajar. Mas Hafidz ini sudah lancar membaca, lo, Teman-Teman. Ngajinya juga hebat.”
“Iya, setiap hari aku belajar ngaji dengan Kakak.”
“Masyaallah. Semoga Allah memudahkan Mas Hafidz dan Teman-teman semua meraih cita-citanya, ya. Baik, beri tepuk tangan untuk Mas Hafidz, Teman-Teman.”

Bu Wiwik takjub atas hasil karya murid-muridnya. Di luar dugaan. Mereka dapat mengomunikasikan asa dan rasa mereka dengan sangat apik. Imajinasi liar mereka terlampau jauh dari apa yang dipikirkan Bu Wiwik sebelumnya. Kepercayaan diri mereka juga patut diacungi jempol. Ekspresi lugu mereka ini kian menambah keyakinan Bu Wiwik bahwa murid-muridnya adalah anak-anak yang istimewa dengan bakat dan minat masing-masing. Semoga Sekolah dapat memerdekakan mereka mengasahnya. (A2)

Bagikan:
Scan the code