Jumat, hari terakhir masuk sekolah dalam satu minggu. Murid-murid mengenakan baju seragam Pramuka. Kelas 2 terjadwal mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, salat Duha, BAQ. Setelah itu murid-murid pulang. Tepatnya pukul 10.30. Berbeda dengan kelas 3 yang terjadwal berkegiatan ekstrakurikuler di SD 01.

Jam pelajaran pertama dimulai. Bu Wiwik mengajak murid-murid mengidentifikasi barang-barang yang menyerupai bentuk bangun ruang. Saat Bu Wiwik memberikan penjelasan, Kinan menghampiri saya.

“Bu, saya pusing,” keluhnya.

“Bu Yunita oleskan minyak kayu putih, ya, Kinan.”

Ia mengangguk.

“Tadi pagi sudah makan, belum?” tanya saya.

“Sudah, Bu.”

“Lalu, pusingnya dari kapan?”

“Baru saja, Bu,” jawabnya.

Saya menempelkan telapak tangan saya di dahinya. Ternyata badannya hangat. Lebih hangat dari suhu orang yang sehat. Saya tawarkan kepadanya untuk beristirahat di ruang UKS. Ia menolak. Setelah saya bujuk, akhirnya ia menyetujuinya.

Saya mengantarkannya ke ruang UKS. Saya tempelkan satu lembar plester kompres di dahinya. Saya membentangkan selimut untuknya dan memintanya berbaring. Setelah itu saya memberinya kesempatan untuk beristirahat dan saya kembali ke kelas.

Selanjutnya, jam pelajaran Bahasa Indonesia. Saya yang mengampu. Pada pertemuan sebelumnya, saya mengajak murid-murid membuat cerita tentang pengalaman menanam kangkung. Kebanyakan dari mereka belum menuntaskannya. Akhirnya, pada jam pelajaran saya kali ini, mereka saya minta untuk menuntaskannya. Saya memberi waktu hingga jarum panjang jam dinding di angka 8.

Buku harian saya bagikan. Tersisa milik Gibran, Alisha, dan Kinan. Gibran dan Alisha tidak masuk sekolah karena sakit. Sedangkan Kinan sedang beristirahat di ruang UKS.

Murid-murid mulai melanjutkan tugasnya. Saya ingin melihat keadaan Kinan. Saya membawa buku harian miliknya. Barangkali ia bosan dan ingin melanjutkan cerita yang belum dituntaskannya. Saya titipkan anak-anak kepada Bu Wiwik.

“Kinan masih pusing?”

“Masih, Bu.”

“Ini Bu Yunita bawakan buku harian. Teman-teman sedang melanjutkan cerita menanam kangkung kemarin. Kalau Kinan bosan, boleh melanjutkan menulis ceritanya.”

“Baik, Bu.”

Saya kembali ke kelas.

Bel penanda istirahat berbunyi. Satu per satu murid-murid mengumpulkan tugasnya. Saya memastikan semua murid sudah mengumpulkan. Saya kembali menengok keadaan Kinan di ruang UKS.

“Kinan sudah lebih baik?” selidik saya.

“Sudah mendingan, Bu,” jawabnya.

“Kinan mau ikut BAQ bersama teman-teman, gak?”

“Mau, Bu.”

“Ya, sudah. Yuk, kembali ke kelas. Nanti kalau Kinan merasa pusing lagi, bilang ke Bu Yunita, ya,” pinta saya.

Kinan mengangguk.

Saya dan Kinan bergegas kembali ke kelas. Dengan waktu yang tersisa saya sempatkan untuk minum dan mempersiapkan diri untuk mengajar BAQ.

***

Pembelajaran BAQ usai. Saya kembali menuju meja saya, berniat untuk mengoreksi tulisan cerita murid-murid. Kinan menghampiri saya sambil mengulurkan buku hariannya.

“Sudah, Bu.”

“Sudah selesai satu halaman?”

Ia mengangguk.

“Terima kasih, Kinan.”

Saya meletakkan buku Kinan di tumpukan buku bagian paling bawah dan saya berlanjut mengoreksi tulisan murid satu per satu. Sampai akhirnya tersisa milik Kinan. Saya baca tulisannya. Tulisannya rapi. Ia menceritakan proses menanam kangkung dengan runtut.

“Hebat sekali,” gumam saya dalam hati.

Padahal Kinan sedang tidak enak badan. Tetapi Kinan tetap ingin melaksanakan tugas yang Ibu Guru berikan dengan baik agar tidak tertinggal oleh teman lainnya. Saya kok jadi malu. Saya yang sudah dewasa saja, jika merasa tidak enak badan, berat rasanya mengerjakan hal-hal yang biasanya dikerjakan. Lain halnya dengan Kinan. Walaupun ia sedang tidak enak badan, tidak ada alasan baginya untuk tidak menuntaskan tugas sebagaimana yang dikerjakan teman-temannya. Sungguh, saya termotivasi oleh Kinan.

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code