Jumat (31/01/2025) pukul 15.09. Begitu tiba di musala, saya dapati teman-teman telah siap salat Asar. Saya tidak sabar. Saya tak mampu menunggu hingga usai salat. Mumpung ikamah belum dikumandangkan, saya langsung mencari tahu.

“Tadi Pak Aruf ngaji?” selidik saya.

Nggih, Pak Kambali,” jawab Pak Aruf.

“Alhamdulillah.”

“Tapi yang memulai bukan saya, Pak Kambali. Tadi Pak Adhit yang memulai.”

“Alhamdulillah.”

Mulai Rabu (22/01/2025) kegiatan “Baca Al-Qur’an” (saya dan teman-teman sering menyebutnya dengan sebutan lebih simpel: ngaji) bertempat di ruang kelas 3. Hari itu saya mengumumkan perpindahan tempat. Semula (Jumat, 27 Desember 2024—Selasa, 21 Januari 2025) di ruang kelas 2. Pengumuman saya sampaikan melalui pesan tulisan di grup Sekolah.

Tak hanya tentang tempat, saya juga sekaligus menyampaikan beberapa ketentuan lainnya. Di antaranya, hanya diikuti pengabdi yang sedang tidak uzur. Yang sedang haid, disilakan tidak ikut. Yang sedang berkegiatan lain dan mendesak, disilakan tidak ikut. Termasuk pengabdi yang ditugasi belajar dengan Bu Layla, juga disilakan fokus belajar. Saya memang tak bertarget waktu.

Dari sisi waktu, memang ada indikasi makin melambat. Kali pertama dilakukan di ruang kelas 1. Khatam dalam empat hari. Dilanjut di ruang kelas 2. Butuh 17 hari untuk mengkhatamkan. Dan di ruang kelas 3 ini sangat berpotensi melebihi 17 hari.

Itu tak masalah. Yang terpenting, terus ada ikhtiar setiap hari membaca Al-Qur’an. Dan itu membutuhkan suasana hati yang tidak kemrungsung. Oleh karenanya, yang berkegiatan mendesak disilakan tidak ikut. Saya bayangkan, jika saya paksa untuk ikut. Bisa jadi itu menyebabkan kegiatannya menjadi semrawut. Lalu ia jengkel. Kemudian menuduh ngaji sebagai kambing hitamnya. Duh! Na’ūżu billāh.

Hari kedua ngaji di ruang kelas 3, saya sangat terkejut. Itu Kamis (23/01/2025) siang. Hingga lima menit saya tunggu, tak ada yang datang. Di ruang kelas 3 saya sendirian. Adakah teman-teman lupa? Malas? Semuanya sedang berkegiatan mendesak? Atau jangan-jangan …! Ah! Ya, sudahlah. Mengapa saya harus berpikir yang tidak-tidak? Bukankah saya sudah mengantisipasi sejak awal: kegiatan ini hanya untuk yang sedang tidak uzur?

Lebih parah lagi: mengapa saya harus pertanyakan teman-teman? Semestinya saya mempertanyakan diri saya sendiri: sudah melebihi lima menit, kok tidak saya mulai? Astagfirullah.

Bismillah, saya mulai. Semula saya sendirian, tetapi beberapa menit kemudian Pak Aruf dan Pak Adhit tiba di ruang kelas 3. Akhirnya, Kamis itu diikuti tiga orang: saya, Pak Aruf, dan Pak Adhit.

Ya, pengalaman Kamis itu begitu berharga untuk saya. Sekaligus mengingatkan saya dengan konsep meng-0-kan ekspektasi. Maka, sejak saat itu saya berupaya untuk memperkecil ekspektasi. Rasanya saya masih kesulitan untuk mencapai angka 0.

Kebetulan Jumat itu saya tidak bisa mengikuti ngaji di ruang kelas 3. Baru bisa keluar ruangan setelah pukul 15.00. Saya menuju musala. Sembari menyiapkan diri, Jumat ini tak ada yang ngaji. Dan itu tak masalah. Saya pun tidak bisa mengikutinya.

Namun, demi mendengar jawaban Pak Aruf di atas, seketika saya sangat bersyukur. Pikiran-pikiran negatif yang sempat muncul dalam otak saya terbantahkan dengan sendirinya. Bukti di depan mata: teman-teman tetap ngaji walau saya tidak ikut.

Tidak berhenti pada Pak Aruf, saya juga menanya Pak Adhit. Saya dapat info lebih detail dari Pak Adhit.

Orang pertama yang hadir, Bu Indah. Disusul Pak Adhit. Belum segera mulai. Pak Adhit bermaksud menunggu kehadiran Pak Aruf. Namun, Bu Indah usul agar segera dimulai. Dipimpin Pak Adhit. Alhamdulillah, usulan Bu Indah disetujui. Setelah itu, disusul secara berurutan: Bu Puput, Pak Aruf, dan Bu Yunita. Terbaca 10 halaman. Dalam waku kurang dari 15 menit.

Alhamdulillah, walḥamdulillāh, ṡummalḥamdulillāh.

Terima kasih, Bu Indah, Pak Adhit, Bu Puput, Pak Aruf, dan Bu Yunita. Tersebab aksi Anda semua, pikiran negatif lebih mudah hilang dari otak saya. (A1)

Baca juga: Terima Kasih

Bagikan:

Leave a Reply

Scan the code