Tahun baru. Semester baru. Gedung baru. Anak-anak juga sangat kentara menunjukkan semangat baru. Para pengabdi, guru dan tenaga kependidikan, tak mau ketinggalan. Tak terkecuali, saya.
Untuk melengkapi suasana baru di kelas, saya menawarkan kepada anak-anak untuk memilih ketua dan wakil ketua kelas baru. Bukan karena pasangan “pejabat” lama punya cela. Bukan karena mereka kena OTT (omelan tidak terima) KPK (kumpulan penghuni kelas). Bukan karena tekanan demonstran. Bukan pula karena keduanya mengundurkan diri.
Semua baik-baik saja. Suasana aman terkendali. Tidak ada bisik-bisik ketidakpuasan. Tidak terdengar kasak-kusuk upaya pemakzulan. Tidak ada laporan penyalahgunaan kekuasaan. Suksesi ini semata-mata demi penyegaran. Sambil membelajarkan anak-anak. Bahwa jabatan itu tidak abadi. Sewaktu-waktu siap diganti. Yang lama, melepas secara ikhlas. Yang baru, mengabdi sepenuh hati.
Gayung bersambut. Anak-anak antusias menerima tawaran saya. Tahap pertama, pendaftaran calon. Ridho sempat mengangkat tangan. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu: entah usul atau pertanyaan. Namun, ia mengurungkan niatnya. Saya telanjur melihat ketika tangannya diangkat. Saya silakan Ridho angkat bicara, tidak hanya angkat tangan.
“Boleh menunjuk diri sendiri, Bu?” tanyanya dengan ekspresi ragu.
Maklum, Ridho belum se-PD politisi beneran.
“Boleh,” jawab saya, “Sangat boleh.”
Deg. “Keren banget ini anak! Berani menunjuk dirinya sendiri. Sudah percaya akan kemampuannya,” batin saya.
Ridho tampil sebagai pengusul calon sekaligus calon pertama. Adit, Itaf, dan Langit mengikuti jejak Ridho. Masing-masing mengusulkan namanya sendiri. Sisanya mengusulkan nama teman-temannya: Hafidz, Fillio, Iqbal, dan Daffa.
Pengusulan calon dicukupkan. Total jenderal muncul delapan calon. Tibalah saatnya pemungutan suara. Sejenak saya bimbang: bagaimana cara voting-nya? Semester lalu, anak-anak memberikan suara dengan mengangkat tangan ketika disebut nama calon pilihannya. Selama voting, mata mereka terbuka. Dengan cara itu, saya khawatir anak-anak mudah terpengaruh oleh pilihan temannya.
Aha, ada ide baru! Apa salahnya dimodifikasi? Cara voting-nya tetap dengan mengangkat tangan. Cuma, anak-anak harus memejamkan mata selama voting berlangsung.
Seorang anak bertanya, “Nanti kalau ada yang tidak memejamkan mata, gimana, Bu?”
“Wah, pertanyaan bagus, nih!” sahut saya.
Saya lalu menjelaskan, “Jadi, Teman-Teman, nanti saat pemungutan suara Bu Guru tidak tahu apakah kalian membuka mata atau memejamkan mata. Karena penglihatan Bu Guru terbatas. Tapi, ada Allah yang Maha Tahu. Jadi, nanti kalian langsung berurusan sama Allah. Hanya kalian dan Allah yang tahu: apakah membuka mata atau memejamkan mata?”
Anak-anak mengiakan. Aturan main disepakati. Saya memberi aba-aba. Pada hitungan ke-3, anak-anak mulai memejamkan mata.
Masyaallah, … berdesir hati saya. Mereka begitu kompak dalam ketaatan. Tidak seorang pun anak membuka mata hingga pemungutan suara berakhir. Mantra apa yang menyihir mereka? Allah Maha Tahu. Kalian berurusan langsung dengan Allah. Dua kalimat itukah yang menjaga kejujuran mereka?
Sungguh menakjubkan! Hanya untuk urusan sepele, mereka tidak berani bermain-main dengan amanah. Tidak terbayangkan seandainya saya mengandalkan pengawasan sepasang mata saya. Mungkin ada anak-anak yang iseng membuka mata. Mereka penasaran: terjangkau oleh pengawasan gurunya atau tidak.
Delapan nama calon sudah saya sebut satu per satu. Perolehan suara masing-masing sudah saya hitung. Berikut hasilnya: Fillio memperoleh 6, Hafidz 1, Itaf 6, Ridho 9, Langit 1, Adit 2, Iqbal 0, dan Daffa 1 suara.
Dengan demikian, Ridho menjadi ketua kelas terpilih. Sementara, perolehan suara terbanyak kedua diraih dua calon. Pemungutan suara putaran kedua harus digelar untuk menentukan siapa wakilnya: Fillio atau Itaf. Semua anak kembali memejamkan mata. Itaf tampak harap-harap cemas. Ia berdoa. Entah doa apa yang dirapalkan. Yang jelas, ia terlihat khusyuk sekali.
Nama Fillio saya sebut. Delapan belas tangan terangkat ke atas. Ganti nama Itaf yang saya sebut. Sembilan anak mengangkat tangan.
Ketua kelas dan wakilnya sudah terpilih secara luber jurdil. Langsung: masing-masing memilih calon dengan mengangkat tangannya sendiri. Umum: pemungutan suara dilaksanakan secara terbuka. Bebas: anak-anak menentukan pilihannya tanpa paksaan dan tekanan, apalagi jual beli suara. Rahasia: pilihan tiap-tiap anak tidak diketahui temannnya. Jujur dan adil: panitia—tunggal, saya—tidak memihak salah satu atau dua calon.
Anak-anak bersuka cita menyambut kehadiran pemimpin baru kelas mereka. Suara riuh terdengar membahana. Tanpa selebrasi, memang. Tidak ada pesta kembang api. Tidak ada arak-arakan berkeliling kelas. Juga tidak ada orasi kemenangan, apalagi sampai berapi-api.
Namun, di tengah keriuhan itu ada satu anak yang diam tertunduk. Lesu. Menghela napas panjang. Tanpa berucap sepatah kata pun. Ia tampak sedih. Kecewa. Siapa lagi kalau bukan Itaf? Wajar bila Itaf sedih dan kecewa. Saya tidak buru-buru mengintervensi. Nanti akan ketahuan, ia butuh bantuan atau dapat mendamaikan sendiri perasaannya.
“Selamat, ya, buat Mas Ridho dan Mas Fillio. Semoga bisa menjadi contoh yang baik buat teman-teman. Dan yang belum terpilih, jangan berkecil hati. Masih ada kesempatan lagi di kelas 4, 5, dan 6. Tunjukkan bahwa kalian anak-anak hebat yang bisa menjadi contoh yang baik buat teman-teman di sekeliling, ya,” pesan saya.
Saya pandangi wajah anak-anak satu demi satu. Alhamdulillah, Itaf sudah mulai menampakkan wajah berbinar. Pertanda ia legawa menerima takdir-Nya.
Anak-anak berhasil unjuk integritas luar biasa. Kalau itu terpelihara, mereka tidak bakal tergoda untuk berbuat curang dalam segala rupa tes atau ujian. Mereka paham, tes apa pun sejatinya adalah ujian kesetiaan pada kejujuran. Mereka akan selalu ingat, Allah Maha Tahu. Mereka akan selalu sadar, setiap detik mereka sedang berurusan dengan Allah.
Pertanyaan besarnya sekarang, sanggupkah saya meneladan anak-anak—murid-murid saya itu?