“Bu Shoffa, saya pengin Bu Shoffa wudu dilihat oleh guru lain. Yang sudah terpikir: Bu Layla dan Bu Wiwik. Pripun, bila demikian?”

Nggih, Pak Kambali.”

“Alhamdulillah. Insyaallah saya atur dulu penjadwalannya.”

Siang itu saya menemui Bu Shoffa di ruangannya. Ups, ruangan Bu Shoffa itu bukan kantor khusus untuk guru. Bukan. Tahun 2024/2025 ini Bu Shoffa bertugas sebagai guru kelas 3. Ruangan Bu Shoffa, ya di ruang kelas 3. Jadi satu dengan murid-muridnya. Saat saya temui, murid kelas 3 sudah pulang.

Saya sangat bersyukur, ide saya terterima. Setidaknya oleh Bu Shoffa. Sebenarnya ide itu sudah muncul lama sekali. Namun, saya sering menunda eksekusinnya. Dengan beragam alasan. Hari itu terlintas kembali. Entahlah, apa pemicunya, saya sudah lupa. Bisa jadi karena laporan Bu Eva.

Bu Eva mengajar kelas 1. Bu Eva melapor, muridnya sudah ada yang siap untuk dites wudu. Aqila, namanya. Saya mengetes Aqila pada tanggal 19 Agustus 2024.

Saya berkomitmen, semua guru juga harus saya lihat wudunya. Bukan apa-apa. Hanya untuk memastikan, saat pembimbingan anak-anak, tidak terjadi beda persepsi. Dengan begitu, saya berharap, pembimbingan berjalan lebih mudah dan lebih lancar.

Ups, bagaimana dengan guru putri? Masa saya yang harus lihat? Iya sih, saya pimpinannya. Namun, saya rasa itu tidak tepat. Saya perlu minta bantuan salah satu guru putri. Masalahnya, terkadang ada rasa sungkan, ketika berwudu dilihat oleh sesama guru. Atau bahkan, guru yang melihat pun ikut sungkan. Kalau sudah demikian, yang terpikir oleh saya: penugasan. Astagfirullah, masa untuk hal semacam itu kok pakai penugasan. Saya merasa kurang baik, jika hal semacam itu memakai pendekatan penugasan. Alhamdulillah, ada ide lain: kolektif. Saling melihat. Satu dengan lainnya berkesempatan sama.

Ternyata, saya kalah cepat dibanding anak-anak. Aqila sudah siap tes wudu, saya malah belum jadi menjadwalkan guru putri untuk praktik wudu dilihat oleh guru lain. Termasuk guru putra, saya juga belum menjadwalkan.

Laporan Bu Eva memang ikut memengaruhi saya. Agar segera mempraktikkan ide yang sudah lama muncul dan tak kunjung tereksekusi.

Akhirnya, Sabtu (24/08/2024) pagi saya jadwalkan. Sayang, hanya dalam pikiran saya. Belum saya tuliskan. Belum pula saya kabarkan kepada guru putri. Dan pada waktu Sabtu pagi itu, ternyata saya disibukkan urusan lain. Saya lupa dengan jadwal praktik wudu untuk guru putri. Baru teringat saat kumandang azan Zuhur. Itu karena saya hendak wudu. Otomatis muncul bisikan: tunda lagi, Senin saja. Bukankah jam kerja Sabtu hanya sampai pukul 12.30? Tapi kalau saya tunda lagi, bukankah berisiko tidak terlaksana lagi?

Jemaah Zuhur usai. Saya lihat jam. Masih ada waktu sekitar 15 menit. Saya yakin, masih mencukupi untuk praktik wudu. Saya undang Bu Wiwik, Bu Layla, Bu Eva, dan Bu Shoffa di ruang kelas 1. Setelah saya jelaskan sekilas, keempat guru tersebut saya minta untuk menuju tempat wudu. Saya tidak mengikutinya. Saya pasrah sepenuhnya kepada Bu Wiwik dan Bu Layla, yang lebih senior dari dua guru lainnya. Alhamdulillah, sebelum pukul 12.30 sudah selesai. Saya minta laporan dara Bu Layla dan Bu Wiwik. Alhamdulillah, berjalan tuntas. Berarti, saya tinggal menindaklanjuti guru lainnya yang lebih junior.

Bagaimana dengan guru putra? Karena sesama putra, saya bisa langsung melihatnya. Saya juga harus menjadwalkannya. Akan lebih baik jika saya segerakan. Ya, barangkali maksimal sepekan setelah guru putri.

Rabu (28/07/2024) pukul 13.00 saya ajak Pak Adhit, Pak Aruf, dan Pak Kukuh ke tempat wudu. Saat ini, sebanyak itulah guru putra yang ada.

“Pak Adhit, Pak Aruf, Pak Kukuh, secara bergantian kita berwudu dan yang lainnya memperhatikan, ya! Yang kita praktikkan tak hanya rukun wudu, tapi juga sekaligus sunah wudunya. Nah, giliran pertama, saya dulu,” tegas saya.

Saya mendekati keran. Saya pilih keran yang alirannya tidak terlalu dekat jaraknya dengan teman-teman. Agar semua leluasa melihat.

“Sunah wudu itu banyak sekali. Kali ini, yang kita praktikkan sebagaimana yang kita bimbingkan ke anak-anak. Baca bismillah, cuci tangan, kumur-kumur, istinsyāq, dan basuh telinga.”

Saya memilih untuk yang memulai. Dengan harapan, teman-teman tidak kikuk. Saya sadar, tidak semua orang merasa nyaman dilihat saat berwudu. Apalagi sengaja dilihat, terasa sedang diuji. Maka, saya harus mencontohkannya dulu.

“Bila kita sedang puasa, tidak disunahkan melakukan kumur-kumur dan istinsyāq. Makanya, Ramadan tahun lalu, anak-anak saat berwudu disarankan untuk meninggalkan kumur-kumur dan istinsyāq.”

Usai saya berwudu, dilanjutkan secara bergiliran: Pak Adhit, Pak Aruf, dan Pak Kukuh. Saat yang satu sedang berwudu, yang lain melihatnya. Bila ada kekeliruan, yang lain bisa menyempurnakannya.

Alhamdulillah, Rabu itu sebagian besar guru sudah mempraktikkan wudu dilihat guru lainnya. Tinggal guru baru. Insyaallah akan menyusul. Itu harus saya lakukan. Bukankah itu salah satu tugas guru: belajar? (A1)

Baca juga: Bekerja sama

Bagikan:
2 thoughts on “Haruskah Tertunda Lagi?”

Comments are closed.

Scan the code