“Teman-Teman, hari ini Ustazah akan berbagi bintang ketertiban, ya. Syaratnya yang sudah Ustazah umumkan sebelumnya,” jelas Bu Layla saat BAQ di kelas 1.

Spontan anak-anak memosisikan diri untuk duduk tertib. Suara riuh kecil dan pergerakan kursi menunjukkan mereka berupaya untuk duduk tertib sembari melipat kedua tangannya di atas meja.

Hus, ayok, duduk yang tertib. Itu Ustazah sudah bawa bintangnya, lho,” ucap Mutiara kepada Sofie dan Kirana, yang duduk di samping kirinya. Pun kepada Amira, yang duduk tepat di samping kanannya.

Sudah menjadi rahasia umum perihal perolehan bintang. Namun, masing-masing guru memiliki kriteria khusus dalam penyematannya. Ada bintang salat, bintang perubahan sikap lebih baik, bintang ketertiban, bintang mengaji, dan bintang-bintang lainnya. Penyematan bintang bersifat kondisional. Yap, tentu dengan tujuan agar siswa melakukan kebaikan tidak melulu agar mendapatkan bintang.

Di akhir pertemuan BAQ, Bu Layla menyematkan bintang kepada beberapa siswa. Ada Kirana, siswa yang cukup antusias dan tampak perkembangan mengajinya. Dari yang awalnya pelan-pelan dan membacanya dengan mengeja hingga mampu membaca pendek cepat. Ada Abrisam, yang konsisten. Mulai dari khusyuk dalam berdoa dan tertib mengaji hingga selesai. Ada Amira, yang hari itu cukup spesial baginya. Dia mampu menahan diri untuk tertib dan tidak minta izin untuk ke toilet. Tentu Bu Layla sudah menguatkan kepada seluruh siswa. Jika izin ke toilet, selesaikan semua hajatnya. Baik buang air kecil (BAK), buang air besar (BAB), bahkan membuang kotoran hidung (ingus), hingga mencuci tangan serta diakhiri wudu secara mandiri. Meski rangkaiannya membutuhkan waktu yang cukup panjang, setidaknya siswa mampu memilih dan membedakan skala prioritas.

Amira menampakkan kegembiraannya. Betapa tidak? Kali pertama bagi dia mendapat penyematan bintang saat mengaji. Selain itu, mendapatkan bintang menjadi prasyarat bagi dirinya untuk mendapatkan kejutan dari mamanya. Tentu, bagi dirinya, satu tahapan sudah terlampaui.

Yey, aku dapet bintang, aku mau warna yang ini, ya, Ustazah,” pinta Amira sambil menunjuk stiker bintang berwarna merah magenta.

Dia menempelnya di balik sampul bukmu prestasinya. Tanpa diminta. Seolah dia akan mengoleksinya. Tanda antusiase sudah muncul. Bagi Bu Layla, momen inilah yang tepat untuk memberikan peluang kepada siswa dalam fastabiqul-khairāt. Berlomba-lomba dalam kebaikan.

“Teman-Teman, besok Ustazah akan berbagi bintang lagi, ya. Namun, kalian terus berlomba dalam kebaikan, tentu dengan cara yang baik,” pesan Bu Layla kepada semua siswa.

“Baik, Ustazah,” jawab semua siswa dengan kompak.

Hari berikutnya, Bu Layla gagal menyematkan bintang kategori apa pun kepada siswa. Masih banyak yang belum mencapai standar yang dikehendaki kelompok mengaji. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit pun kekecewaan tersirat pada wajah mereka. Mereka menganggap hal ini sangat wajar, mereka konsekuen.

Saat esok tiba, Bu Layla terus menguatkan anak-anak bahwa semua anak hebat, muslim dan muslimah yang cerdas tentu mampu membedakan yang baik dan tidak.

“Ustazah senang sekali berjumpa dengan kalian lagi. Mana muslim yang hebat bilang ‘saya’, mana muslimah hebat bilang ‘saya’”, sapa Bu Layla dengan lagu If You’re Happy dengan bahasa Indonesia.

Semua anak tampak semangat dan antusias. Tak terlewat juga Amira. Meski sesekali dia memainkan stik penunjuk bacanya. Sesekali pula diingatkan oleh Mutiara dan Kirana, yang duduknya berdekatan. Amira tampak lesu.

“Mbak Amira, kenapa?” tanya Bu Layla.

“Aku sedih, karena kemarin gak jadi dapet bintang,” jawab Amira.

“Oh, begitu. Masyaallah. Ustazah kira kenapa,” jawab Bu Layla.

“Mbak Amira tentu tahu, kan, kenapa tidak dapat bintang?” tanya Bu Layla.

Amira diam sembari memandang tajam Bu Layla. Tanda dia belum paham maksudnya.

“Jadi, Amira hari ini berbeda dengan dua hari lalu. Hari ini banyak yang harus diperbaiki. Baik sikap maupun bacaan buku jilid 2-nya,” jelas Bu Layla.

Bu Layla meminta Amira agar bertanggung jawab atas keputusannya. Yaitu, menerima risiko bahwa dia tidak mendapatkan bintang. Selain itu, dia harus menyelesaikan bacaannya sesudah jam kepulangan. Pilihan yang cukup membuat enggan untuk memilih. Tidak berselang lama, Amira mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Bu Layla, tanda dia berjanji.

“Oke, Mbak Amira, nanti setelah berdoa dan bersalaman dengan Bu Wiwik dan Bu Eva, tetap di kelas, ya. Ustazah ke kelas 1. Kita selesaikan mengaji halaman 15,” ucap Bu Layla.

Sekian menit berlangsung, Amira membaca dengan semangat. Baru sampai baris keempat, Amira meminta izin ke toilet untuk buang air kecil. Bu Layla tidak mau gegabah. Keseriusan Amira perlu divalidasi. Setelah sekian kali, Amira mengakui benar-benar hendak buang air kecil. Setelah 4 menit, dia kembali lagi ke kelas dan melanjutkan bacaan jilidnya. Dia bertanggung jawab menyelesaikan dengan benar dan tuntas. Alhamdulillah.

Kenyataan membuktikan, jika Amira sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, insyaallah, Allah akan memudahkan. Pelajaran berharga untuk Amira dan Bu Layla. Akhirnya, Amira berhak mendapat bintang dari Bu Layla atas sikapnya. Kini, penyematan bintang benar-benar menjadi bintang. Menjadi cahaya bagi mereka. Menjadi idola. Sebagaimana bintang itu sendiri. Bersinar dan menyinari langit saat malam gelap. Memancarkan kebaikan dan bahkan menjadi agen kebaikan untuk siswa lain. Semoga terus berporses dan istikamah, ya, Nak.

Bagikan:
2 thoughts on “Bintang yang Jadi Bintang”
  1. masyaallah semangat berproses amira! bapak ibu guru yakin amira pasti bisa!

Comments are closed.

Scan the code