“Bu Guru, wadah kateringnya ditaruh di mana?”
Kalimat yang terucap dari mulut Ano itu sontak mengagetkan saya. Saya tidak pernah meminta anak-anak untuk melakukannya.
Siang itu, Kamis (22 Agustus 2024), Kaisar, Azka, dan Abri terpilih untuk meninggalkan musala terlebih dahulu. Oleh Pak Kambali, ketiganya dianggap lebih tertib daripada anak-anak lain. Mereka diperkenankan melanjutkan kegiatan berikutnya. Hari sebelumnya, saya mendapati Kaisar dan dua anak lain tidak tertib saat doa sesudah salat. Ketiganya saya minta untuk mengulang doa.
“Bu Wiwik berdoa semoga besok Mas Kaisar, Mas Nadhif, dan Mas Tristan lebih tertib lagi saat di musala, ya.”
Bersyukur, Kaisar dapat membuktikan komitmennya, bahkan melampaui harapan saya.
Setelah selesai melipat mukena, saya segera menyusul anak-anak tersebut. Mereka sedang memakai kaus kaki di depan rak sepatu.
“Mas Kaisar, Mas Azka, dan Mas Abri, Bu Wiwik minta tolong angkatkan meja biru itu, ya.”
“Oke, Bu!” jawab Kaisar riang.
Setelah selesai berkaus kaki, mereka bertiga bahu-membahu menggotong meja plastik menuju kelas. Di tengah jalan, Rafa (murid kelas 2) turut membantu ketiganya.
“Ah, sungguh pemandangan yang manis.”
“Terima kasih, Teman-Teman dan Mas Rafa!” ucap saya.
Murid-murid mulai berdatangan ke kelas. Mereka bergegas menyiapkan diri. Mengambil alas makan dan botol minum adalah rutinitas yang dilakukan sebelum berdoa. Kapten Al Fatih memimpin doa sebelum makan. Murid-murid mengikuti aba-aba kapten.
Saya menunjuk satu demi satu kelompok untuk mengantre mengambil piring, sendok, dan menu katering. Nasi dan sayur tersaji dalam dua wadah. Sementara lauk disajikan dalam satu wadah. Trio nasi, lauk, dan sayur itu ditata berjajar di meja biru. Buah diletakkan di meja Bu Eva. Semua wadah tersebut berbahan stainless steel dan berukuran cukup besar. Meja biru tak cukup besar untuk menampung keenam wadah tersebut.
Murid-murid mengantre. Setelah mengambil piring dan sendok di rak, mereka menuju meja biru. Sebulan berjalan, murid-murid kian mumpuni malayani diri sendiri. Menyendok nasi dan sayur bukanlah perkara mudah bagi mereka. Motorik halus sangat berperan dalam hal ini. Di samping itu, mereka juga harus berlatih fokus. Mengupayakan bahan makanan yang sudah diambil tidak bercecer atau tumpah.
Tak hanya itu, murid-murid juga belajar menakar kebutuhan asupan mereka. Harapannya, makanan yang telah diambil dapat dihabiskan. Tak jarang, beberapa anak juga ada yang tanduk.
“Mengambil makanannya secukupnya, ya. Kalau mau nambah juga boleh.”
Hampir setiap hari kalimat itu diucapkan oleh teman-teman guru yang mendampingi anak-anak makan siang di kelas. Setelah kelompok terakhir selesai mengambil makanan, saya dan teman-teman guru pun mulai menyantap menu makan siang kami.
Seusai makan, murid-murid mengembalikan alas makan mereka. Jika ada yang tercecer, mereka pun diajari untuk membersihkannya. Biasanya, para guru masih makan saat kelompok pertama selesai makan.
Setelah memastikan mejanya bersih, murid-murid berkemas. Buku-buku, tempat pensil, tempat bekal, dan botol minum dimasukkan ke dalam tas. Lalu menggantungkan tas mereka di pengait yang ada di sisi kanan/kiri meja.
Saat saya menyantap hidangan, Ano mendekat. Ia melontarkan kalimat yang cukup mengagetkan sekaligus membanggakan.
Dengan seulas senyum, saya menimpali, “Oh, ditaruh di luar, ya, Mas Ano. Di bok yang biasanya dipakai untuk duduk itu, lo.”
“Oh, di situ. Oke, Bu!” timpal Ano.
Ano bergegas mengusung satu per satu wadah katering yang ada di meja biru. Melihat aksi Ano, Abri pun tak ingin ketinggalan. Kaisar juga tak mau kalah. Ketiganya bahu-membahu menyelesaikan tugas—yang biasanya dilakukan oleh bapak ibu guru—itu dengan baik dan tuntas. Tak berhenti hanya di situ, ketiga jagoan itu juga mengembalikan meja biru ke tempatnya. Selera makan saya meningkat demi menyaksikan aksi heroik mereka.
Saya patut bersyukur. Anak-anak sekecil itu memiliki kepekaan dan empati yang luar biasa. Saya dan teman-teman guru tidak pernah meminta murid-murid kami untuk membereskan wadah-wadah itu. Kami beranggapan bahwa itu adalah tugas kami, orang dewasa. Namun, ternyata anggapan kami keliru. Anak-anak yang baru sebulan berstatus murid SD itu menunjukkan aksi heroiknya. Tanpa diminta, cukup dengan mengamati.
“Terima kasih, Pahlawan-Pahlawan Kecilku!” (A2)