“Asalamualaikum, Pak Kambali. Mohon maaf, mengganggu waktunya. Ini, SD Islam Hidayatullah 02 dapat juara 3 ḥifẓi Al-Qur’an. Saya izin mewakili, nggih,”
“Alhamdulillah. Nggih, Pak Sandi. Matur nuwun sanget.”
Chat Pak Sandi saya terima pukul 18.45. Selasa (13/08/2024) itu dilaksanakan lomba Mapsi SD ke-25 tingkat Kecamatan Banyumanik. Bertempat di SD Negeri Srondol Wetan 02. Paginya saya menyempatkan diri ke tempat lomba. Saya tiba di lokasi sekitar pukul 07.30. Upacara pembukaan baru dimulai pukul 08.22. Saya tidak mengikutinya. Saat upacara dimulai, saya sudah di tempat parkir, hendak kembali ke Sekolah. Ada tamu yang sudah menunggu. Dari puskesmas. Ya, pagi itu ada imunisasi. Untuk murid kelas 1.
Begitu menerima chat dari Pak Sandi, seketika saya teringat lomba Mapsi tahun sebelumnya. Saat lomba Mapsi ke-24 itu, Sekolah mengirim delegasi juga. Lebih dari 5 anak. Satu anak kelas 3, sisanya kelas 2. Tak ada satu pun yang masuk peringkat 3 besar. Dan anak-anak yang mewakili Sekolah itu tampak sangat kecewa. Hingga para guru pembimbing mengusulkan agar anak-anak dibombong. Alhamdulillah, kreativitas guru pembimbing berhasil memulihkan semangat dan motivasi mereka.
Sebetulnya tidak hanya anak-anak yang kecewa, tetapi saya juga. Namun, bukan tentang hasil lomba. Kalau saya pikir secara jernih, penyebab kekecewaan saya: diri sendiri. Saya tidak mencari info dari sumber primer. Saya hanya mengandalkan sumber sekunder. Ups, bahkan mungkin tersier.
Waktu dimulainya lomba molor. Tempat lomba mengalami perubahan mendadak. Peserta lomba harus memakai kartu peserta. Kartu itu harus dicetak sendiri oleh pihak sekolah. Saya belum mencetaknya. Seharusnya peserta sudah menerima nomor undian sebelum hari pelaksanaan, tetapi anak-anak baru mendapatkannya pada hari pelaksanaan. Akibatnya, ada yang menunggu terlalu lama dan kecapekan. Dan semua masalah itu penyebabnya saya: mencari info bukan dari sumber primer.
Mendapati kenyataan di atas, saya menjadi kurang berminat saat menerima info lomba Mapsi ke-25. Ya, memang sih, saya sendiri penyebabnya. Namun, kekecewaan anak saat itu juga memengaruhi saya. Hampir saya putuskan tidak mengikuti lomba itu. Namun, sejumlah guru memberi saya masukan. Setelah saya musyawarahkan dengan sejumlah pihak terkait, akhirnya saya putuskan untuk tetap ikut. Dan kali ini, saya sudah menyiapkan diri, mengantisipasi kekecewaan. Termasuk hasil lomba.
Maka, setelah membaca chat dari Pak Sandi di atas, saya merasa seolah-olah ditampar malaikat. Malaikat itu seakan-akan menampar sembari membaca potongan ayat ke-87 surah Yusuf. Kamu itu siapa? Janganlah kamu mudah putus asa! Kamu itu hanya makhluk. Apa kamu lupa punya Tuhan? Apa kamu tidak ingat bahwa Allah itu Ar-Rahmān? Apa kamu mengabaikan hadis Nabi “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku”? Lalu kenapa putus asa?
Astagfirullah. Ternyata saya masih lupa. Masih harus terus belajar menguatkan rajā’ (harapan) kepada Allah.
Alhamdulillah, teman-teman saya masih mau mengingatkan saya. Hasil yang diperoleh Ridho—peraih juara 3 lomba ḥifẓi Al-Qur’an—memicu pikiran saya. Terima kasih, Ridho.
Berselang 16 menit, Pak Sandi mengirim pesan kembali, “Meisya juara 1 Mocopat Islami, Pak.”
Masyaallah, alhamdulillah. Benar-benar saya merasa mendapat peringatan yang luar biasa. Bahkan, ada yang juara 1. Ya Allah, ampunilah saya, yang masih berputus asa atas rahmat-Mu. Bimbinglah saya agar senantiasa mempunyai pengharapan kepada-Mu dan selalu mensyukuri nikmat-Mu. Amin. (A1)
Baca juga: Tanpa Beban