Suatu hari, pelantang di musala selesai digunakan. Beberapa peralatan pelantang masih tertancap dan belum terbereskan: dua kabel dan dua mikrofon. Tidak lama kemudian, Ustaz Aruf melihat dua anak yang mendekati pelantang itu: Langit dan Naufal.

Langit dan Naufal, masing-masing membereskan kabel dan mikrofon yang tergeletak di karpet musala. Mereka menggulung kabel dengan cara mereka sendiri.

“Ustaz, seperti ini, ya?” Tanya Langit sambil memperlihatkan kabel yang sudah ia gulung.

“Iya, tidak apa-apa, bagus.”

“Ustaz, saya gulung seperti ini biar ringkas, boleh, ya?” ucap Naufal.

“Iya, boleh.”

Setelah Langit dan Naufal selesai menggulung kabel dan mencopot mikrofon, mereka segera meletakkannya ke dalam dus—tempat menyimpan peralatan pelantang.

“Bagus. Terima kasih, ya, Langit dan Naufal,” apresiasi Ustaz Aruf.

“Iya, sama-sama, Ustaz.”

Mereka pun segera kembali menuju kelas.

Alhamdulillah. Beberapa anak sudah menunjukkan sikap tanggap: Langit dan Naufal. Mereka tanpa disuruh membereskan peralatan pelantang. Mereka melakukannya atas dasar keinginan mereka sendiri. Naluri untuk bersikap tanggap sudah tumbuh dalam jiwa mereka. Begitu melihat sesuatu yang belum terbereskan, dengan tanggap dan cepat, tubuh mereka tergerak untuk membereskannya.

Bagikan:
243 thoughts on “Tanggap”

Comments are closed.

Scan the code