Pekan ini Collaborative Camp resmi diluncurkan. Beberapa hari sebelumnya, Bu Wiwik dan Bu Eva telah mewacanakannya kepada murid-murid. Sengaja, supaya anak-anak penasaran. Rasa penasaran dan tak sabar anak-anak kian tak terbendung setelah Bu Wiwik memamerkan bahwa tenda-tenda yang dipesan sudah datang.

Hari itu (10/02/2024), murid-murid bergotong-royong mengeluarkan meja dan kursi. Kelas tampak lapang. Hari berikutnya, murid-murid mendirikan tenda-tenda mereka. Tiap kelompok mendapatkan sebuah tenda. Meski kegiatan itu melelahkan, rona kebahagiaan dan kepuasan terpancar nyata dari wajah-wajah mungil itu. Rasa lelah itu terbayar lunas saat menyaksikan ada yang berbeda di sudut kelas. Enam tenda berwarna biru dan merah muda berjajar rapi di sisi timur dan selatan kelas.

Ruang kelas masih terasa lapang walaupun ada enam tenda di dalamnya. Kesempatan ini tak dilewatkan begitu saja oleh Bu Wiwik. Ia segera mengajak murid-muridnya berlatih menari. Latihan menari ini telah dimulai sejak sepekan sebelumnya. Pekan ini semakin intensif dilakukan. Sebab, 17 Februari mendatang, murid-murid akan mementaskannya dalam acara “Festival Ceria”.

“(Gerakannya) susah, Bu!”

“Saya enggak bisa, Bu!”

“Saya belum hafal, Bu!”

Itulah beberapa dari sekian banyak keluhan murid-murid saat latihan. Bahkan, murid putra enggan turut latihan. Mereka lebih memilih bermain di dalam kelas.

“Anak-anak putra melihat anak-anak putri latihan dulu, ya. Nanti gantian,” ucap Bu Wiwik.

Anak-anak putri menunjukkan kesungguhan. Meski belum hafal semua gerakan, mereka tampak menikmati dan berlatih dengan sukacita. Tayangan video di layar cukup membantu Bu Wiwik menghemat tenaga. Anak-anak cukup menirukan gerakan dari tayangan itu.

“Anak putri keren! Sudah banyak yang mulai hafal gerakannya, nih!” puji Bu Wiwik.

“Anak-anak putra jangan mau kalah. Walaupun belum hafal gerakannya, kalau kalian sering berlatih, nanti lama-lama juga bisa. Yang kali ini ikut latihan, nanti boleh langsung istirahat,” lanjut Bu Wiwik.

Begitu Bu Wiwik mengutarakan kalimat terakhir itu, beberapa anak putra yang tadinya enggan bangkit dari duduknya, bersegera mengambil posisi di barisan yang ditentukan.

“Ternyata seru juga, ya!” celetuk Vano sambil mengikuti gerakan yang tayang di layar.

“Aku sudah agak hafal,” seru Rafa tak mau kalah.

Keenan, yang tak banyak bicara, tampak antusias mengikuti gerakan yang dipirsanya. Bersyukur, pekan kedua berlatih, murid-murid putra mulai menikmati dan menemukan kesenangan.

Enam menit sebelum bel istirahat, latihan berakhir. Murid-murid dipersilakan istirahat. Mereka bersegera mengambil bekal masing-masing. Sebagian besar murid menyantap bekal mereka di dalam tenda. Sembari menikmati suasana yang masih terasa baru itu.

“Bu Wiwik, apakah boleh diputarkan musiknya tadi. Saya ingin latihan,” pinta Elora.

“Saya juga, Bu,” timpal Azza dan Alisha.

“Elora, Azza, dan Alisha sudah makan?” tanya Bu Wiwik.

“Sudah, Bu,” jawab ketiganya.

“Oke!” respons Bu Wiwik singkat.

Begitu musik diputar, tak hanya tiga anak tadi yang berlatih. Sebagian besar murid putri turut serta. Bahkan, Keenan tak mau ketinggalan. Bu Wiwik tersenyum sambil melirik ke arah mereka. Saat musiknya berakhir, mereka merengek minta diputarkan lagi. Makin lama, makin banyak peserta yang turut berlatih.

Bu Wiwik patut bersyukur. Murid-muridnya sangat gigih. Ketika memutuskan untuk menampilkan tarian tersebut, Bu Wiwik sempat ragu. Gerakan-gerakannya cukup sulit untuk anak seusia mereka. Apalagi bagi anak putra yang tidak begitu suka menari.

Keraguan itu kini tak terbukti. Murid-muridnya menunjukkan proses belajar yang sangat alamiah. Dari tidak bisa, penasaran, hingga akhirnya menikmati. Bagaimana memantik rasa penasaran itu? Sering-sering saja dipamerkan kebisaan teman-temannya. Jiwa kompetisi anak akan meronta jika ia merasa tertinggal dari teman-temannya. Begitu sudah penasaran, lalu mereka akan mencoba-coba. Setelah mencoba(-coba) dan bisa, mereka pun akan menikmati, hingga ketagihan.

Bagikan:
470 thoughts on “Proses Alamiah”

Comments are closed.

Scan the code