26 September 2023, pukul 03.45. Bu Layla cukup kaget. Setelah membaca pesan dari Bunda Sabrina. Di grup WhatsApp Kelas Dua SDIH 02. Di situ beliau menginfokan bahwa ayahanda Sabrina kapundhut lantaran mengalami kecelakaan. “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun.” Sebagaimana manusia biasa, cukup wajar jika Bu Layla mendapatkan kabar demikian, sontak menjadi sedih. Apalagi, Bu Layla sebagai ibu yang nggregel jika memosisikan diri sebagai Sabrina kala itu.

“Astagfirullah, kenapa saya larut dalam kondisi itu? Bukankah kehidupan, kematian, rezeki dan semua yang ada di dunia ini, semua atas kehendak dan kuasa-Nya? Ampuni hamba-Mu yang lemah ini, ya Allah,” Bu Layla bersenandika.

Pagi itu aktivitas di Sekolah berjalan seperti biasa. Diawali apel pagi, doa, dan tahfiz. Namun, suasana haru tampak di kelas 2. Bu Layla memulai tahfiz dengan menanya kabar dan memastikan siapa yang salat Subuh pagi itu. Alhamdulillah, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak hanya tentang salat, Bu Layla juga menanya tentang wudu sebelum berangkat ke sekolah. Dan (lagi-lagi), alhamdulillah, tidak jauh beda dengan yang melaksanakan salat Subuh.

Di kelas 2, ada satu indikator yang ditambah dalam pembiasaan, yaitu berwudu sebelum ke sekolah. Dengan kontrol oleh guru ketika tahfiz pagi. Kala itu, hanya Sabrina yang tidak hadir. Bu Layla memberitahu kepada siswa lain penyebab ketidakhadiran Sabrina. Yaitu karena ayah Sabrina kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa, Allah Swt. Selanjutnya, Bu Layla mengajak siswa untuk mendoakan almarhum ayah Sabrina dengan membaca bersama surah Al-Fatihah.

Tak luput dari perhatian Bu Layla. Sultan namanya. Sultan bertanya ke Bu Layla, “Ustazah (panggilan Bu Guru dalam Bahasa Arab), kenapa yang dibaca surah Al-Fatihah? Kok nggak surah lain?”

Wow, pertanyaan yang seru,” batin Bu Layla.

Bu Layla kemudian menjawab pertanyaan Sultan. Bukan hanya ditujukan kepada Sultan, melainkan untuk semua siswa. Bu Layla menduga, siswa lain pun butuh penjelasan tersebut. Alhamdulillah, Bu Layla lega atas tanggapan positif anak-anak.

Tidak berhenti dengan membaca surah Al-Fatihah saja, Kepala Sekolah mengimbau semua siswa kelas 2 bertakziah ke rumah Sabrina. Tidak hanya bertakziah, siswa putra dianjurkan untuk melaksanakan salat Jenazah persis di depan jenazah (karena posisi jenazah belum dimakamkan).

Yaps, tantangan baru untuk menguatkan anak-anak atas keraguan dan “ketakutan”. Kali pertama siswa SD Islam Hidayatullah 02 mempraktikkan langsung salat Jenazah. Bagaimana tidak? Teori saja, belum mereka dapat. Mereka masih kelas 2. Materi Fikihnya baru sampai salat fardu. Bu Layla harus berpikir keras, bagaimana cara memberikan pemahaman kepada mereka. Jangankan pemahaman, menguatkan mereka atas apa yang akan mereka hadapi saja, Bu Layla masih membutuhkan strategi yang kokoh.

“Saya mohon izin menyampaikan tentang takziah dan salat Jenazah kepada anak-anak nanti sesudah Duha, bagaimana, Pak?” tanya Bu Layla kepada Pak Kambali.

“Silakan, Bu, boleh,” jawab Pak Kambali sembari melanjutkan imbauan kepada kami untuk mengajak seluruh siswa dengan menyisihkan rezekinya sebagai tanda kasih untuk Sabrina dan keluarga.

Tiba saatnya, Bu Layla dan Bapak Ibu Guru tim kelas 2 untuk mengumumkan rencana takziah dan salat Jenazah. Bu Layla menjelaskan dan menguatkan siswa tentang teknis keberangkatan hingga di kediaman Sabrina. Penjelasan tersebut dianggap cukup oleh Bu Layla. Dilanjutkan penawaran siapa siswa putra yang siap melaksanakan salat Jenazah. Di luar dugaan. Hampir semua siswa putra mengangkat tangannya sebagai tanda kesiapan mereka. Kecuali Kennard. Disusul satu siswa yang tampaknya ragu, Fillio namanya. Sebenarnya dia sudah angkat tangan. Matanya memandang Kennard menandakan Fillio sepakat dengan Kennard. Melihat kondisi tersebut, Bu Layla bergegas menanyakan keraguannya. Serta memastikan kembali kesiapan Fillio.

“Bagaimana, Mas Fillio? Apakah jadi ikut salat Jenazah?” tanya Bu Layla.

Lagi-lagi, Fillio saling memandang dengan Kennard.

Kayaknya saya gak jadi ikut, Ustazah” jawab Fillio dalam keraguannya.

“Benar?” tanya Bu Layla.

“Benar, Ustazah,” jawab Fillio lebih mantap.

“Baik. Jika begitu, semua siswa putra melaksanakan salat Jenazah, kecuali Kennard dan Fillio, ya,” tegas Bu Layla.

Setelah itu, Bu Layla melanjutkan simulasi salat Jenazah. Ups, sebenarnya Bu Layla belum menemukan formula yang sesuai untuk menyampaikan simulasi salat Jenazah. Seketika Bu Layla mengatur siswa sambil berpikir. Alhamdulillah, … dalam keraguan Bu Layla, Pak Kambali rawuh ke ruang kelas 2. Lega rasanya. Pertanda baik yang dirasakan Bu Layla. Pak Kambali bermaksud menyimulasikan salat Jenazah. Cocok sekali dengan dugaan Bu Layla. Akhirnya keraguan ini terpatahkan.

Simulasi diakhiri. Dilanjutkan baris di depan kelas. Karena jarak antara Sekolah dan kediaman Sabrina cukup dekat, Sekolah memutuskan untuk menempuh perjalanan dengan jalan kaki. Iya, seru dan menyenangkan. Kami baris berurutan. Tampak rapi, satu per satu sepanjang tepian Jalan Bina Remaja sampai ujung gang masuk Jalan Sukun. Dari kejauhan sudah tampak kediaman Sabrina yang depannya ditambah teratak dan dipenuhi banyak orang. Sampailah kami di kediaman Sabrina. Spontan Hasna mengatakan, “Aku takut,” sambil menyelinap di belakang Bu Amik.

“Sudah, tidak mengapa, Hasna. Kita semangati Sabrina, ya,” Bu Amik menguatkan Hasna dan menggandengnya.

Kami disilakan masuk oleh budhe-nya Sabrina. Semua siswa melepas sepatu dengan tertib dan tanpa suara. Tanpa diingatkan oleh Bapak Ibu Guru. Pemandangan yang sejuk. Begitu mudahnya Allah melembutkan hati anak-anak. Mereka mampu mengendalikan diri. Masyaallah, ….

Seketika siswa putri duduk berjajar. Nadia, Kalynn, Naren, dan Cemara tampak asyik bersenda gurau dengan Sabrina. Bu Layla meyakini bahwa upaya mereka bertujuan untuk menghibur Sabrina. Dan Sabrina pun menikmati obrolan serta candaannya. Sedangkan siswa putra (kecuali Kennard dan Fillio) melaksanakan salat Jenazah secara berjemaah yang diimami oleh Pak Kambali. Iya, salat Jenazah persis di depan jenazah yang masih diistirahatkan di kediaman Sabrina.

Tidak terasa Bu Layla meneteskan air mata. Bukan menangis karena musibah. Bukan pula menangis karena rasa iba. Namun, rasa haru yang ada di batin Bu Layla melihat begitu kuatnya keyakinan anak-anak dalam melaksanakan salat Jenazah sehingga hilang semua “ketakutan” dan kegelisahannya. Sangking kuatnya rasa persaudaraan anak-anak terhadap Sabrina. Tampak sekali anak-anak memosisikan diri sebagai Sabrina. Sebagaimana konsep outsider—dalam perspektif umum.

Hari itu Bu Layla mampu mematahkan keraguan terhadap kesiapan membersamai anak-anak. Mampu menyaksikan keberanian dan tanggung jawab anak-anak dengan kepercayaan dirinya. Karena jelas bahwa di dalam keraguan itu, ada celah bagi setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Tidak disangka, lagi-lagi Allah memilih siswa kami, anak didik kami sebagai manusia yang terpilih dalam menunjukkan kebenaran.

Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu dan (beralihlah) kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmizi dan Nasa’i).

Bagikan:
8 thoughts on “Awalnya (Tidak) Ragu”

Comments are closed.

Scan the code