Kisi Oh Kisi

“Cermat sejak perencanaan.”

Itulah tiga kata pertama yang saya baca mengawali diskusi pagi ini. Mak jleb!

Adalah Pak Teguh yang membuat saya merasa tertampar. Jauh sebelum ini, beliau pernah berkisah. Istri beliau—yang juga seorang guru—pernah “ngeyel” membuat soal tanpa terlebih dahulu menyusun kisi-kisinya. Pada akhirnya, sang istri pun menyerah. Ternyata benar kata Pak Teguh: satu kisi-kisi bisa digunakan untuk menyusun soal bertahun-tahun.

Saya masih menggugat kalimat terakhir itu. “Kalau ganti Menteri (sekaligus kurikulumnya), gimana, Pak Teguh? Mungkinkah kisi-kisi itu masih bisa dipakai?”

Dengan enteng beliau menjawab, “Guru itu mesti independen. Paradigma belajar tidak pernah berubah. Yang berubah itu labelnya.”

Saya manggut-manggut. Mak jleb (lagi)!

Lebih lanjut, beliau mempromosikan keunggulan kisi-kisi. “Satu indikator soal (dalam kisi-kisi) bisa digunakan untuk membuat banyak tipe soal.”

Saya makin sadar. Begitu dahsyat manfaat menyusun kisi-kisi sebelum merumuskan soal itu sendiri. Bersyukur, saya belum terlambat menyadari ini. Semoga setelah ini, saya bisa mengubah kebiasaan buruk saya.

Lebih bersyukur lagi, sejak 27 November 2023 lalu, sebuah “klinik” virtual didirikan. Bukan klinik kesehatan, apalagi klinik bersalin. Melainkan “Klinik Asesmen”. Di klinik ini, para anggota bisa berkonsultasi seputar “kesehatan” instrumen asesmen mereka. Sang “dukun”—Pak Teguh—tetap teguh menuntun kami—para anggota—yang masih tertatih.

Ternyata, menyusun soal itu lebih sulit daripada menjawabnya. Itulah tantangan bagi guru. Jika guru memperbaiki kualitas instrumen asesmennya, ia memperbaiki pula pengajarannya. Sebab, kata Pak Teguh lagi, “Penilaian itu mencerminkan apa yang guru ajarkan.”